NARAKITA, REMBANG – Di tengah canda tawa yang kerap mewarnai setiap pengajiannya, terselip sisi lain dari sosok Gus Baha yang jarang terekspos. Ulama ahli tafsir asal Rembang ini ternyata kerap menangis dalam kesendiriannya, bukan karena hal duniawi, tetapi karena getaran batin yang dalam kepada Sang Pencipta.
Tangis itu lahir dari keprihatinan spiritual. Gus Baha merasa banyak manusia yang tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, meski jelas bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Kesadaran inilah yang membuatnya sering meneteskan air mata saat sendiri.
Dalam salah satu pengajian, ia mengungkapkan bahwa dirinya sering menangis bukan karena Allah membutuhkan manusia, tetapi karena manusia yang justru sering melupakan dan meragukan Allah, padahal Allah telah memberi segalanya tanpa meminta imbalan apa pun.
“Allah tidak butuh manusia. Tapi kita sering tak percaya pada-Nya. Padahal yang menciptakan kita ya Allah sendiri,” ucap Gus Baha, suaranya lirih tapi menyentuh hati.
Ia mengaku bahwa perasaan itu muncul saat dirinya merenung tentang bagaimana manusia lebih mudah percaya pada makhluk, tapi ragu kepada Sang Khalik. Baginya, ini adalah ironi spiritual yang menyakitkan.
Dalam majelis yang sama, Gus Baha mengatakan bahwa dirinya menangisi keadaan itu. “Kulo niku sering nangisi Pangeran, padahal Pangeran niku mboten butuh kita. Tapi kulo kadang-kadang nggih tak tangisi,” ujarnya.
Ia kemudian menyitir satu ayat Al-Qur’an yang sangat menyentuh. Ayat itu menggambarkan sindiran Allah kepada manusia yang tidak percaya, padahal sudah jelas bahwa Allah lah yang menciptakan mereka.
Dikutip Minggu (04/05/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @khidmatumatchannel9230, pengajian tersebut berlangsung dalam suasana hangat dan akrab, namun meninggalkan perenungan mendalam di hati para pendengar.
Ayat yang dikutip Gus Baha berbunyi:
نَحۡنُ خَلَقۡنٰكُمۡ فَلَوۡلَا تُصَدِّقُوۡنَ
“Nahnu khalaqnaakum falaw laa tusaddiquun”
Artinya: Kami telah menciptakan kamu, mengapa kamu tidak membenarkan (hari berbangkit)?
Dengan gaya khasnya, Gus Baha menjelaskan bahwa ayat tersebut seolah-olah merupakan pertanyaan langsung dari Allah yang mempertanyakan kepercayaan manusia terhadap-Nya.
“Kowe mek tanggamu percoyo, mbek konco percoyo, wong liyo percoyo. Lah aku sing gawe kowe kok ora mbok percoyo,” ucap Gus Baha dengan nada lirih yang menyentuh.
Ia menyindir bahwa manusia bisa dengan mudah percaya pada pasangan, sahabat, bahkan orang asing. Namun saat berurusan dengan Allah, banyak yang enggan berserah.
“Urusan mbek bojo iso pasrah, urusan mbek konco iso pasrah. Lah aku iki Pangeran, kok ora tau mbok pasrahi,” lanjutnya, menggugah kesadaran para jamaah.
Bagi Gus Baha, tangisan itu bukan bentuk kelemahan, melainkan ekspresi cinta dan kerinduan mendalam terhadap Allah. Ia merasa tangisan seperti itu justru menjadi penguat iman.
Dalam Islam, menangis karena Allah merupakan tanda hati yang hidup. Rasulullah pun dikenal sebagai pribadi yang lembut dan sering menangis dalam doa dan zikirnya kepada Allah.
Melalui kisah ini, Gus Baha mengajak umat untuk memperdalam tawakal, yakni menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah, tanpa meninggalkan usaha yang nyata sebagai makhluk.
Ia menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya tempat bergantung. Maka ketika manusia menyerahkan urusannya pada selain Allah, itu adalah bentuk kekeliruan yang harus disadari.
“Sing gawe kowe iku Aku, nahnu khalaqnaakum. Urusanmu kok dipasrahke karo makhluk, iku makhluk model opo,” ucap Gus Baha dengan logat Jawa yang akrab di telinga jamaahnya.
Ia pun mengajak umat Islam untuk sering merenung, menyadari keterbatasan diri, dan memperkuat iman kepada Zat yang telah memberi kehidupan.
Pengajian yang dibawakan Gus Baha selalu menyisipkan nilai-nilai spiritual tinggi namun disampaikan dengan cara yang membumi. Bahasa campuran Jawa-Indonesia yang ia gunakan membuat pesan mudah dicerna.
Tak jarang, jamaah tampak terdiam bahkan menitikkan air mata saat mendengarkan kisah-kisah seperti ini. Sebuah peringatan lembut, namun tajam bagi hati yang lalai.
Dengan gaya ringan tapi penuh makna, Gus Baha menyampaikan pesan penting: semakin kita sadar siapa diri kita dan siapa Tuhan kita, maka hidup akan lebih tenang, lapang, dan bermakna. (Anugrah Al-Ghazali)