NARAKITA, JAKARTA – Di tengah peringatan Hari Laut Sedunia, jeritan dari ujung timur Indonesia menggema ke Istana. Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia (IDCA) mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. Isinya bukan basa-basi: hentikan tambang nikel di Raja Ampat sekarang juga!
Sebagai surga bawah laut dunia, Raja Ampat bukan tempat untuk keserakahan industri. Dalam surat bernomor 001/EXT/IDCA/VI/2025 itu, IDCA menyampaikan empat tuntutan keras. Mereka menolak eksploitasi alam demi kepentingan sesaat dan mendesak pemerintah mencabut seluruh izin tambang secara permanen.
“Raja Ampat adalah ikon konservasi laut dunia. Kehadiran tambang nikel di sini adalah bentuk ironi yang menyakitkan,” tegas Ketua Umum IDCA, Ebram Harimurti, dalam keterangan tertulisnya.
Mereka juga menyoroti perlunya memperluas zona larangan tangkap dan zona penyangga di sekitar Kawe dan Wayag—dua kawasan wisata unggulan yang kini diintai bahaya sedimentasi dan pencemaran.
Pendapatan dari sektor wisata selam di Raja Ampat yang menyentuh Rp150 miliar per tahun dinilai jauh lebih menjanjikan secara berkelanjutan ketimbang cuan sesaat dari tambang. “Lebih dari 60 persen kekuatan pariwisata Indonesia datang dari alam, bukan dari mesin bor,” tambah Rani Hernanda, Sekjen IDCA.
IDCA tidak menutup mata soal pentingnya hilirisasi dan transisi energi lewat industri nikel. Namun, menurut mereka, lokasi seindah Raja Ampat seharusnya jadi pengecualian. “Bukan semua tanah bisa digali. Ada tempat yang harus dijaga selamanya.”
Dalam pernyataannya, IDCA menyerukan empat langkah konkret:
1. Cabut seluruh izin tambang di Raja Ampat secara permanen.
2. Perluas zona perlindungan laut dan tegakkan larangan aktivitas ekstraktif.
3. Kembangkan ekonomi hijau dan ekowisata berbasis masyarakat.
4. Libatkan masyarakat adat dan nelayan dalam pengawasan kawasan.
Sorotan juga tertuju pada laporan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) yang mengungkap pelanggaran berat oleh sejumlah perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Dalam inspeksi 26–31 Mei 2025, empat perusahaan diperiksa. Hasilnya, banyak ditemukan ketidaksesuaian antara izin dan praktik lapangan.
PT Anugerah Surya Pratama, perusahaan asal Tiongkok, tertangkap menambang tanpa manajemen limbah dan tanpa sistem lingkungan yang layak. Sementara PT Kawei Sejahtera Mining kedapatan membuka tambang di luar zona yang diizinkan.
Kondisi ini membahayakan terumbu karang, manta ray, dan citra Indonesia sebagai surganya para penyelam dunia. “Kerusakan yang terjadi di pulau-pulau kecil bisa bersifat permanen,” kata Menteri Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan sikap KLH yang siap mencabut izin.
Lebih parah lagi, PT Gag Nikel dan PT Mulia Raymond Perkasa juga disorot karena aktivitas yang bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 turut memperkuat posisi IDCA. MK secara tegas menyebut bahwa aktivitas tambang di pulau kecil adalah pelanggaran terhadap keadilan antargenerasi dan prinsip pencegahan kerusakan lingkungan.
Kini, bola ada di tangan Presiden Prabowo. Dunia menanti langkah tegas, bukan kompromi setengah hati. Raja Ampat bukan tambang. Ia adalah warisan umat manusia, bukan objek dagangan industri.
Presiden, dengarlah suara laut yang menggelegar, jangan biarkan Raja Ampat musnah demi nikel! (*)