NARAKITA, MALANG – Fenomena tak biasa tengah menyelimuti berbagai kota di Indonesia. Dari Malang hingga Pontianak, udara sejuk terasa sejak dini hari hingga malam. Suhu yang biasanya panas menyengat kini berubah menjadi sejuk, bahkan menusuk dingin di waktu tertentu. Warganet pun ramai berbagi cerita soal cuaca tak biasa ini di media sosial.
“Subuh tadi Malang dinginnya enggak biasa, 19 derajat Celsius,” tulis salah satu pengguna X. Warganet lain dari Tangerang juga membagikan pengalaman serupa: “Pagi dingin, malam juga dingin, siang pun terasa redup, lalu hujan datang sore sampai malam.”
Yang tak kalah mengejutkan, kota seperti Pontianak yang selama ini dikenal panas sepanjang tahun, juga dilaporkan mengalami hawa dingin sejak pagi hingga malam. Pengguna media sosial ramai menyuarakan keheranan mereka: ini bukan cuaca Indonesia seperti biasanya.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa hawa dingin tiba-tiba menyelimuti begitu banyak wilayah, termasuk kota-kota yang umumnya tropis?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) angkat bicara. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menjelaskan bahwa perubahan suhu ini erat kaitannya dengan musim kemarau.
“Saat ini udara mulai mengering akibat angin monsun dari Australia. Ini adalah ciri umum musim kemarau di wilayah selatan Indonesia,” ujar Sena.
Ia menambahkan, karakteristik udara yang kering membuat suhu permukaan mudah turun, khususnya di malam dan dini hari. Efeknya, tubuh pun lebih mudah merasakan dingin, apalagi jika disertai hujan yang mempercepat proses pendinginan.
Analisis lebih lanjut datang dari Supari, Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG. Ia menjelaskan bahwa suhu di dataran rendah Indonesia kini berkisar antara 22 hingga 23 derajat Celsius. “Untuk wilayah rendah, ini termasuk cukup rendah dibanding rata-rata tahunan,” ujarnya.
Menurut Supari, hujan yang terjadi di sore atau malam hari memperparah pendinginan permukaan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. “Itu sebabnya suhu malam hingga pagi di sana terasa lebih dingin dari biasanya,” jelasnya.
Menariknya, fenomena ini bukan disebabkan oleh gangguan iklim global seperti La Nina. “Ini murni karena dinamika lokal musim kemarau. Tidak ada pengaruh dari anomali iklim besar saat ini,” tegasnya.
Fenomena seperti ini disebut juga sebagai bediding, yaitu kondisi udara dingin dan kering yang terjadi saat posisi matahari sedang jauh dari bumi bagian selatan. Deputi Meteorologi BMKG, Guswanto, menyebutkan bahwa puncak bediding akan terjadi pada 21 Juni, saat matahari berada di 23,5 derajat Lintang Utara.
“Kondisi ini akan terus berlangsung sepanjang musim kemarau, dari Juni hingga Agustus,” ujar Guswanto. Wilayah yang paling terdampak adalah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, namun efeknya bisa terasa lebih luas tergantung curah hujan setempat.
BMKG memperkirakan suhu dingin ini akan terus berlanjut dalam beberapa minggu ke depan. Selama hujan masih turun di sore atau malam hari, efek pendinginan akan tetap terasa. Namun, jika curah hujan berhenti sepenuhnya, suhu malam bisa kembali menghangat meski siang tetap kering.
Bagi masyarakat, fenomena ini adalah pengingat akan pentingnya menjaga kesehatan tubuh. Cuaca dingin mendadak bisa memicu gejala flu, batuk, dan gangguan pernapasan lainnya, khususnya pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Meskipun cuaca sejuk ini membawa sedikit kelegaan dari panas terik, masyarakat diimbau tetap waspada. Baju hangat dan konsumsi makanan bergizi tetap penting untuk menjaga daya tahan tubuh.
Fenomena ini, walaupun bukan hal baru secara meteorologis, tetap menjadi kejutan tahunan yang menyentuh hampir seluruh penjuru negeri. Dari dataran tinggi hingga kawasan tropis pesisir, udara dingin seolah menjadi tamu tak diundang yang menyapa hangatnya negeri khatulistiwa.
Untuk sementara, selimut tebal dan minuman hangat menjadi teman terbaik di pagi dan malam hari. Indonesia memang masih di garis ekuator, tapi angin dari selatan tampaknya sedang ingin menunjukkan kuasanya. (*)