KABAR bahwa Ayam Goreng Widuran Solo menyajikan menu nonhalal sontak mengejutkan publik, terutama umat Islam. Restoran legendaris yang telah berdiri sejak tahun 1973 ini mengumumkan lewat akun Instagram resminya bahwa mereka menggunakan bahan-bahan yang tidak sesuai dengan standar kehalalan.
โAyam kampung asli. Nonhalal,โ demikian tertulis dalam bio akun @ayamgorengwiduransolo yang terlihat pada Selasa, 27 Mei 2025.
Tak butuh waktu lama, pernyataan itu pun viral. Banyak warganet mengaku terkejut dan merasa tertipu karena selama ini menganggap restoran tersebut menyajikan makanan yang halal. Sebagai respons, manajemen Ayam Goreng Widuran mengunggah permintaan maaf terbuka.
โKami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kegaduhan yang beredar di media sosial belakangan ini,โ tulis pihak manajemen dalam pernyataan tersebut.
Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa keterangan โNON-HALALโ kini sudah dicantumkan di semua outlet dan media sosial mereka. Mereka pun berharap masyarakat bisa memberi ruang untuk perbaikan.
Namun, di tengah kegelisahan ini, timbul satu pertanyaan yang cukup krusial bagi umat Islam: bagaimana jika sudah terlanjur makan ayam goreng dari tempat tersebut?
Islam memandang serius soal makanan yang dikonsumsi umatnya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qurโan:
ููููุง ุชูุฃููููููููุง ุงูู ูููุงููููู ู ุจูููููููู ู ุจูุงููุจูุงุทููู
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188)
Makanan haram terbagi menjadi dua kategori. Pertama, makanan yang memang haram secara dzat seperti babi dan bangkai. Kedua, makanan yang secara zat halal tapi diperoleh dengan cara haram, seperti hasil curian atau dibeli dengan uang haram.
Menyikapi hal ini, umat Islam diingatkan untuk meneladani kehati-hatian para sahabat Rasulullah SAW, salah satunya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
ููุซูุจูุชู ุนููู ุฃูุจููู ุจูููุฑู… ููุชููููููุฃูููุง
“Diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah makan makanan syubhat tanpa mengetahui, lalu setelah tahu ia berusaha memuntahkannya.” (al-Wafi Syarh Arbaโin an-Nawawi)
Kisah itu menunjukkan betapa pentingnya kehati-hatian terhadap makanan yang masuk ke dalam tubuh, bahkan dalam hal yang masih syubhat, apalagi yang jelas haram.
Lalu, jika seorang Muslim terlanjur makan makanan haram tanpa sengaja, apakah cukup hanya merasa menyesal? Tentu tidak. Langkah pertama dan utama adalah bertaubat.
Menurut Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar, taubat harus memenuhi syarat berikut:
- Berhenti dari perbuatan dosa saat itu juga
- Menyesali perbuatannya
- Berjanji untuk tidak mengulanginya
- Jika terkait hak orang lain, wajib dikembalikan atau diselesaikan
Dalam kasus makanan nonhalal seperti ini, taubat cukup dengan tiga syarat pertama karena menyangkut hak Allah (haqqullah). Tapi jika makanan itu diperoleh dari hasil curian atau merugikan pihak lain, maka syarat keempat wajib ditunaikan juga.
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin memberikan penjelasan mendalam soal cara menyelesaikan urusan dengan sesama manusia (haq adami), termasuk jika harta haram sudah telanjur digunakan.
Ditekankan bahwa harta haram harus dikembalikan kepada pemiliknya. Jika tidak diketahui, maka harus diikhtiarkan mencarinya. Bila benar-benar tidak bisa ditemukan, maka harta itu dimasukkan ke kas negara atau dialokasikan untuk kemaslahatan umum.
Apabila pelaku adalah orang fakir, ia diperbolehkan mengambil bagian dari harta itu sekadar untuk mencukupi kebutuhan dasar dirinya dan keluarganya.
Kasus seperti makan di Ayam Goreng Widuran Solo memang mengandung kerumitan tersendiri. Terlebih, banyak pelanggan mengaku tidak tahu jika makanan yang mereka konsumsi ternyata nonhalal.
Karena itu, selain bertaubat, umat Islam juga harus memperkuat kehati-hatian dalam memilih makanan, termasuk dengan meneliti label halal dan memperhatikan reputasi tempat makan.
Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai referensi fikih, makanan adalah bagian penting yang membentuk jasmani dan ruhani seseorang. Makanan yang halal tak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga menjaga keberkahan hidup.
Peristiwa ini pun menjadi pengingat bahwa kehalalan makanan bukan hanya urusan label atau sertifikat, tetapi juga tanggung jawab pribadi untuk menjaga diri dari yang haram.
Di masa mendatang, diharapkan masyarakat semakin kritis dan selektif dalam memilih makanan. Tak hanya soal rasa atau harga, tapi juga kepastian halal yang berdampak pada keberlangsungan spiritual seorang Muslim.
Dengan taubat dan kehati-hatian, insya Allah setiap kekhilafan bisa ditebus dan menjadi pelajaran berharga. (*)