DI TENGAH hiruk pikuk Kota Semarang yang padat dengan sejarah kolonial dan sentuhan modernitas, ada satu aroma yang tak pernah gagal menggoda pejalan kaki yang melintasi sudut-sudut kotanya: wangi rempah dari semangkuk soto ayam khas Semarang. Ringan di lidah, namun dalam di rasa—itulah kekuatan utama dari kuliner ikonik ini.
Soto Semarang bukan hanya semangkuk makanan, tapi jejak rasa yang telah menempuh waktu panjang. Ia hidup berdampingan dengan geliat masyarakat kota, menjadi pilihan sarapan hangat, makan siang cepat, atau pengantar malam yang bersahabat. Bagi warga lokal, soto ini bukan hal istimewa—karena terlalu akrab. Namun bagi yang baru pertama mencicipinya, soto Semarang menyisakan kesan mendalam.
Tidak seperti saudaranya dari Lamongan yang cenderung pekat karena koya, atau soto Kudus yang beraroma manis gurih, soto Semarang tampil lebih ringan. Kuah bening keemasan yang mengepul hangat di atas mangkuk kecil menyiratkan kesederhanaan. Tapi jangan salah—di balik kesederhanaannya tersembunyi racikan bumbu yang ditata dengan cermat: kaldu ayam kampung, lengkuas, jahe, bawang, dan daun salam bersatu menciptakan harmoni rasa.
Isian dalam semangkuk soto Semarang biasanya tidak neko-neko. Ada suwiran ayam kampung, bihun, tauge, dan irisan daun bawang segar yang diguyur kuah panas, lalu ditaburi bawang goreng renyah sebagai penutup. Seringkali hadir pula sepotong telur rebus atau perkedel kecil di sisi piring, seolah menjadi pelengkap yang tak terucap, namun terasa.
Yang membuatnya berbeda adalah cara penyajian: porsi soto biasanya disajikan dalam mangkuk kecil, namun selalu ditemani nasi hangat dalam piring terpisah. Beberapa warung bahkan menyuguhkannya bersama kerupuk udang atau emping, dengan sambal encer dan perasan jeruk nipis yang membuat rasa kuah makin segar.
Di Semarang, soto bukan sekadar makanan, tapi bagian dari perjumpaan harian warga. Di pagi hari, warung soto ramai dengan obrolan ringan, diiringi suara sendok yang beradu dengan mangkuk. Kala hujan turun, aroma soto yang mengepul di sudut gang sempit bisa menjadi pelipur rindu dan penawar lelah bagi siapa pun yang mencium aromanya.
Banyak warung legendaris menjadi saksi sejarah soto ini. Warung Soto Ayam Bokoran, misalnya, telah eksis sejak 1949. Warung ini mengambil nama dari kampung tempat asalnya dan menjadi ikon kuliner kota. Ada juga Soto Ayam Bang Ali di kawasan Simpang Lima yang selalu ramai, atau Soto Pak Man yang dikenal dengan suwiran ayam melimpah dan kuah kaldunya yang dalam.
Menikmati soto Semarang terbaik tentu saja paling tepat dilakukan di tanah kelahirannya. Di kota ini, soto terasa lebih dari sekadar makanan: ia adalah perantara keakraban, penyambung cerita, dan penjaga rasa masa lalu. Setiap sendok yang kita suapkan mengandung kekuatan untuk membangkitkan kenangan akan rumah, keluarga, dan pagi yang sederhana namun hangat.
Meski kini soto Semarang bisa ditemukan di luar kota, bahkan hingga ke Jakarta dan Surabaya, rasa aslinya seolah hanya bisa benar-benar dirasakan di Semarang itu sendiri. Ada kekuatan atmosfer lokal yang turut memberi nilai lebih—dari suasana kota tua, jalanan kecil yang bersih, hingga senyum ramah penjualnya.
Kuliner ini mengajarkan bahwa kesederhanaan bukan halangan untuk mencipta kelezatan. Justru di balik tampilannya yang tak mencolok, soto Semarang menyimpan filosofi: bahwa kebaikan tidak perlu keras suara, cukup terasa hingga hati.
Jadi, jika suatu hari Anda menjejakkan kaki di Kota Semarang, sempatkanlah duduk di warung soto tua yang belum berubah sejak zaman dahulu. Hirup aroma kuahnya, biarkan rasa menyusup perlahan ke indera Anda. Karena barangkali, dalam semangkuk soto itu, Anda akan menemukan lebih dari sekadar makanan. Anda akan menemukan kehangatan. (*)