NARAKITA, JAKARTA- Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menanggapi ancaman tarif 10 persen dari mantan Presiden AS Donald Trump terhadap negara-negara BRICS dengan sikap waspada.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia masih memantau perkembangan tersebut sembari terus menjalin komunikasi dengan otoritas AS.
“Indonesia masih dalam proses pembicaraan dengan pemerintah Amerika Serikat, jadi kita akan ikuti terus perkembangannya,” ujar Sri Mulyani usai Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (7/7).
Pernyataan ini muncul setelah Trump, melalui platform Truth Social, mengancam akan mengenakan tarif tambahan terhadap negara-negara yang dinilai mendukung kebijakan “anti-Amerika” dari kelompok BRICS. Ia juga menegaskan bahwa tidak akan ada pengecualian terhadap kebijakan ini.
Menkeu menyebut dinamika global seperti ini menjadi salah satu pertimbangan utama dalam penyusunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk RAPBN 2026. “Ketidakpastian global, termasuk isu tarif dan ketegangan geopolitik, menjadi faktor penting yang harus kita antisipasi,” tegasnya.
Isu Dedolarisasi
Saat ini, Presiden Prabowo Subianto tengah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Rio de Janeiro, Brasil, bersama para pemimpin dunia. Isu dedolarisasi dan kerja sama ekonomi global menjadi agenda utama dalam forum tersebut, yang menurut Trump justru mengancam dominasi ekonomi AS.
Trump sebelumnya juga menyindir rencana BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional. Ia menyebut bila upaya itu dilanjutkan, negara-negara BRICS akan dikenakan tarif hingga 100 persen.
Wacana dedolarisasi memang menguat dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca sanksi ekonomi AS terhadap Rusia. Kelompok BRICS, yang kini diperluas dengan beberapa anggota baru, berupaya menciptakan sistem keuangan global yang lebih berimbang.
Sri Mulyani menekankan, di tengah ketegangan global ini, Indonesia tetap berupaya menjaga stabilitas ekonomi nasional sambil mengantisipasi dampak dari kebijakan dagang negara besar. “RAPBN 2026 akan disusun dengan sangat hati-hati, memperhatikan dinamika global maupun kebutuhan domestik,” pungkasnya. (*)