NARAKITA, GAZA CITY- Lebih dari 100 bayi prematur di Jalur Gaza kini dalam kondisi kritis. Inkubator tempat mereka bertahan hidup nyaris mati total karena rumah sakit kekurangan bahan bakar.
Di tengah blokade Israel yang melumpuhkan, fasilitas kesehatan berubah menjadi ruang antara hidup dan mati, menanti gelap dan sunyi menutup segalanya.
Dua rumah sakit terbesar, Al-Shifa di Kota Gaza dan Nasser di Khan Younis, mengumumkan keadaan darurat pada Rabu (10/7) waktu setempat. Serangan udara yang terus berlangsung dalam 24 jam terakhir mempercepat keruntuhan sistem kesehatan yang tersisa.
Direktur RS Al-Shifa, Muhammad Abu Salmiyah, menggambarkan situasi dengan getir. “Stasiun oksigen akan berhenti. Laboratorium dan bank darah rusak. Rumah sakit ini akan berubah dari tempat penyembuhan menjadi kuburan bagi semua yang ada di dalamnya,” ujarnya.
Tak hanya bayi prematur, 350 pasien cuci darah juga dalam ancaman nyawa. Departemen Hemodialisa bahkan sudah ditutup demi menyelamatkan sisa daya untuk Unit Perawatan Intensif dan ruang operasi.
Di selatan Gaza, RS Nasser melaporkan hanya memiliki sisa 3.000 liter bahan bakar, cukup untuk satu hari. Padahal, rumah sakit ini membutuhkan setidaknya 4.500 liter per hari agar semua layanan tetap berjalan.
“Dengan indikator bahan bakar mendekati nol, para dokter berpacu dengan waktu, kematian, dan kegelapan,” bunyi pernyataan resmi rumah sakit.
Risiko Infeksi
Juru bicara RS Nasser, Mohammed Sakr, menyebut para dokter terpaksa menjalankan operasi tanpa AC, tanpa kipas, bahkan tanpa lampu. “Keringat para dokter menetes ke luka pasien. Risiko infeksi sangat tinggi. Tapi kami tak punya pilihan,” ucap seorang dokter dalam video yang beredar.
Krisis ini hanyalah puncak dari kehancuran sistem kesehatan Gaza sejak dimulainya serangan besar-besaran Israel pada Oktober 2023.
Menurut WHO, hingga Mei 2024 hanya 19 dari 36 rumah sakit yang masih berfungsi secara parsial. Lebih dari 94 persen fasilitas kesehatan hancur atau rusak. WHO mencatat 1.500 tenaga medis telah tewas, dan 185 orang ditahan oleh militer Israel.
“Gaza sudah berlutut,” kata WHO. “Tak ada cukup obat, tak ada bahan bakar. Tapi korban terus berdatangan.” Kementerian Kesehatan Gaza menyebut, sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 57.575 warga Palestina tewas dan 136.879 lainnya luka-luka akibat agresi Israel. (*)