NEGARA melalui institusinya masih berpihak kepada penjahat kemanusiaan, penajahat intoleransi, bukan korban yang seharusnya dilindungi.
Aksi perusakan vila atau rumah singgah untuk retreat keagamaan di Sukabumi pada Jumat 27 Juni 2025 lalu, meneguhkan kepada kita bahwa aksi intolerasi masih marak terjadi di Indonesia.
Massa merusak bangunan vila, bahkan menggunakan salib sebagai simbol keagamaan sebagai alat perusakan. Sungguh ironis.
Di sisi lain, penanganan perisitwa itu juga membuka mata kepada kita, bahwa negara melalui institusi dan kepanjangan tangannya justru berpihak kepada kejahatan. Ya, berpihak kepada kejahatan intoleransi.
Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemen HAM) yang harusnya melindungai hak asasi manusia untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya, justru memihak kepada pelaku kejahatan, bukan korban.
Stafsus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, pada pertemuan dengan Forkopimda dan Pemuka Agama Sukabumi di Pendopo Bupati Sukabumi, 3 Juli 2025.
Thomas menyatakan bahwa Kementerian HAM siap memberikan jaminan kepada para tersangka perusakan.
Kemen HAM menjadi penjamin agar para tersangka kejahatan intolerasi ditangguhkan penahanannya.
Selain pernyataan Thomas, Kanwil Kementerian HAM Jawa Barat pun membuat pernyataan tertulis senada dengan poin tambahan adalah penyelesaian perkara menggunakan keadilan restoratif.
Padahal, polisi telah melakukan penyidikan dan kini menetapkan 8 orang tersangka, dari sebelumnya 7 orang.
Kabidhumas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan, pada 4 Juli 2025, menyampaikan bahwa tersangka perusakan bertambah satu orang menjadi delapan orang.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 170 jo 406 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama.
Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Golkar, Umbu Rudi Kabunang, menyebut langkah kontraproduktif Kemen HAM sebagai pengkhianatan terhadap tugas negara.
Negara yang seharusnya melindungi korban pelanggaran HAM, justru berpihak kepada pelaku.
“Kalau KemenHAM malah jadi penjamin pelaku intoleransi, lalu siapa yang lindungi korban? Negara jangan jadi pelindung ketidakadilan,” ujar Umbu Rudi kepada wartawan, Jumat, (4/7/2025) malam.
Rudi mengingatkan, terlalu banyak kasus serupa di Indonesia seperti pembubaran ibadah, perusakan rumah ibadat, dan pengusiran umat minoritas yang tidak pernah tuntas karena negara memilih kompromi.
Peristiwa di Sukabumi bukan sekadar konflik sosial biasa, tetapi bentuk nyata pelanggaran hak atas kebebasan beribadah yang dijamin oleh UUD 1945 dan Pancasila. (*)