PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, membuat DPR RI meradang. Mereka merasa, MK menciptakan norma baru dan membuat keputusan yang melampaui kewenangannya.
Menurut DPR, persoalan pemilu sebenarnya masuk dalam wilayah open legal policy atau merupakan kewenangan penuh dari lembaga pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Kewenangan MK terbatas pada pengujian norma undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pasal 24C.
“Persoalan pemilu itu sebenarnya merupakan wilayah open legal policy, artinya merupakan kewenangan penuh dari pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Jadi bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk membuat norma baru,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, di Jakarta, senin (30/6/2025).
Zulfikar menekankan bahwa tafsir terhadap norma yang diujikan di MK seharusnya tetap menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Ia mengingatkan bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan pemilu dan desain kelembagaan demokrasi nasional semestinya ditentukan secara politik melalui proses legislasi di DPR RI.
Zulfikar menegaskan bahwa DPR RI akan tetap menghormati keputusan MK, namun menekankan pentingnya pembagian peran yang proporsional antar lembaga negara sesuai mandat konstitusi. “Putusan MK tentu akan kami akomodasi dalam pembahasan undang-undang, tapi pembuatan norma dan desain kebijakan tetap harus kembali ke ranah politik pembentuk undang-undang,” imbuhnya.
Meski begitu, Zulfikar menilai bahwa putusan MK terkait terkait pemisahan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah menjadi momentum DPR untuk mendorong percepatan revisi Undang-Undang Pemilu.
Dijelaskannya, merujuk pada kebijakan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 pihaknya mendorong penyusunan regulasi pemilu, melalui pendekatan kodifikasi, yakni menyatukan seluruh pengaturan kepemiluan ke dalam satu undang-undang yang utuh dan sistematis, bukan dengan system omnibus low.
Politisi Partai Golkar ini memaparkan bahwa berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, pembahasan revisi UU Pemilu saat ini berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Namun, dengan adanya putusan MK terbaru, ia mengusulkan agar pembahasan tersebut dikembalikan ke Komisi II DPR RI sebagai sektor utama yang membidangi masalah atau pemerintahan dalam negeri, termasuk Pemilu dan Pilkada.
Kritik serupa disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda. Dalam penilaiannya, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 kontradiktif dengan putusan MK sebelumnya, tertama Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu. “Tapi sekarang, MK justru menetapkan sendiri satu model, yaitu pemilu pusat dan pemilu lokal yang dipisahkan,” ungkap Rifqi, Selasa (1/7/225).
“Pemilu 2029 masih jauh dan revisi UU Pemilu belum dilakukan. Tapi MK justru menetapkan model pemilu nasional dan lokal dengan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun. Ini bukan lagi open legal policy yang diberikan kepada DPR dan pemerintah,” imbuhnya.
Rifqi juga menyoroti pentingnya menelaah lebih lanjut dasar pembentukan norma dalam UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (4) yang menyebut bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, bukan secara eksplisit melalui pemilihan umum. Ia menegaskan bahwa prinsip original intent dan tafsir konstitusi mesti menjadi pijakan utama dalam mengkaji lebih dalam putusan MK.
Putusan Ideal
Terpisah, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin menilai bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu dalam dua bagian keserentakan, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah sebagai keputusan atau pemisahan yang ideal dari sisi pengaturan Waktu, desain keserentakan,serta tata Kelola penyelenggaraan pemilu.
Dengan adanya pemisahan ini, menurut Afifuddin meringankan beban kerja KPU. “Pada Pemilu 2024, kami harus sudah menyiapkan pemilukada di tengah tahapan penilu nasional. Dengan pemisahan ini, beban penyelenggara bisa dibagi dalam Waktu yang berbeda dan tidak menumpuk di satu periode,” kata dia.
Pemilu 2024 menjadi bukti betapa KPU mengalami kerepotan. Pada Januari, KPU sudah harus merumuskan dan lobi-lobi terkait anggaran untuk perhelatan pemilukada November 2024. Di sisi lain, pada Januari itu juga, KPU juga disibukkan dengan penyelenggaraan Pemilu legislatif dan pemilihan presiden Februari 2024.
“Jadi sudah jelas jika penyelenggaraan Pemilu dilakukan serentak dalam satu tahun yang sama, waktunya sangat berhimpitan. Belum lagi nanti Ketika ada proses-proses gugatan di MK dan seterusnya. Hingga tiba-tiba Pilkada 2024 sudah didepan mata,” kata Afifuddin.
Sehingga menurutnya, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 secara tidak langsung menyelaraskan nomenklatur, tugas dan persyaratan badan ad hoc penyelenggara pemilu di semua tingkatan. Ia menyebut, putusan tersebut demi kebaikan penyelenggara pemilu di masa mendatang.(*)