NARAKITA – United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengalami krisis keuangan cukup siginifikan selama tujuh tahun belakangan.
PBB berencana memangkas anggaran hingga 20 persen dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dengan memangkas 2.800 orang staf dari total 14.000 posisi yang dibiayai anggaran rutin.
Kebijakan ini diumumkan menjelang pertengahan Juni 2025 dan berlaku untuk lebih dari 60 kantor serta lembaga di berbagai wilayah dunia.
Langkah ini diambil untuk menghadapi krisis keuangan serius yang sudah berlangsung selama tujuh tahun yang salah satunya disebabkan banyak anggota kenegaraan belum atau terlambat membayar iuran tahunan.
Dikutip dari AP News, Sabtu (31/5/2025), Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mengatakan pemotongan anggaran ini akan berdampak pada sekitar 2.800 posisi dari total 14.000 posisi yang dibiayai anggaran rutin.
PHK juga akan memengaruhi berbagai sektor, seperti kantor politik dan kemanusiaan PBB, lembaga yang menangani pengungsi, kesetaraan gender, perdagangan internasional, lingkungan hidup, dan pembangunan kota.
Badan PBB yang membantu pengungsi Palestina, UNRWA, juga termasuk dalam daftar.
Pengendali Anggaran PBB, Chandramouli Ramanathan, dalam sebuah memo menyebutkan bahwa PHK ini adalah bagian dari target Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk memangkas 15–20 persen dari anggaran saat ini, yakni sebesar 3,72 miliar dollar AS atau setara dengan 60,6 triliun rupiah per kurs hari ini (Sabtu, 31/5/2025).
Dalam memo tersebut, PBB menginstruksikan lembaga-lembaga yang terdampak untuk memangkas posisi berdasarkan efisiensi, dampak pekerjaan, dan menghapus fungsi yang tumpang tindih atau tidak terlalu penting.
Langkah ini merupakan bagian dari inisiatif reformasi “UN80” yang diluncurkan Guterres pada bulan Maret, menjelang peringatan 80 tahun berdirinya PBB.
“Ini adalah upaya ambisius untuk memastikan PBB siap menghadapi tantangan abad ke-21 dalam mendukung multilateralisme, mengurangi penderitaan manusia, dan membangun kehidupan dan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Saya mengandalkan kerja sama Anda dalam upaya yang memiliki tenggat waktu yang ketat ini,” kata Ramanathan, dikutip dari Reuters, Sabtu (31/5/2025).
Rencana PHK tersebut harus diserahkan kepada pengendali anggaran paling lambat Jumat (13/6/2025) dan akan dimasukkan dalam proposal anggaran tahun 2026 yang akan diajukan Guterres ke Majelis Umum PBB pada bulan Desember.
Guterres membantah bahwa pemotongan ini terkait dengan pengurangan bantuan luar negeri Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Ia menegaskan bahwa krisis keuangan itu sudah terjadi selama tujuh tahun terakhir karena banyak negara anggota yang tidak membayar iuran tahunan mereka, atau terlambat membayarnya.
Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia diharapkan menyumbang 22 persen dari anggaran rutin PBB, sementara China, sebagai ekonomi terbesar kedua, saat ini menyumbang 20 persen.
Tahun lalu, hanya 152 dari 193 negara anggota PBB yang membayar iurannya secara penuh. Amerika Serikat termasuk dalam 41 negara yang menunggak pembayaran.
Amerika Serikat memiliki tunggakan sebesar hampir 1,5 miliar dollar AS atau setara dengan 24,4 triliun rupiah per kurs hari ini (Sabtu, 31/5/2025).
Kegagalan AS membayar iurannya juga menciptakan krisis likuiditas bagi PBB, yang diperparah oleh keterlambatan pembayaran dari China.
Kedua negara ini menyumbang lebih dari 40 persen total pendanaan PBB.
Selain itu, pemerintahan Trump telah menarik ratusan juta dollar dana sukarela, yang menyebabkan penghentian mendadak puluhan program kemanusiaan yang menurut pejabat PBB dapat mengorbankan nyawa.
Anggaran AS yang diusulkan untuk tahun mendatang juga telah mengurangi pendanaan untuk berbagai program PBB, termasuk misi penjaga perdamaian. (*)