NARAKITA, JAKARTA – Indonesia masuk dalam daftar negara yang dikenai tarif impor 32 persen oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, berlaku mulai 1 Agustus.
Bahkan, Indonesia berpotensi ditambah tarif 10 persen karena termasuk dalam anggota BRICS.
Besaran tarif ini sama dengan waktu awal Trump menyampaikan tarif resiprokal pada April lalu.
Dengan demikian, negosiasi Indonesia untuk menurunkan tarif impor tersebut dinilai gagal.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pengumuman terbaru Trump ini menandakan ketidakberhasilan negosiasi pemerintah dengan AS yang digencarkan sejak beberapa bulan terakhir.
Sebab besaran tarif impor ini tidak berubah dari pengumuman Trump sebelumnya pada 2 April 2025.
Bahkan Trump juga mengancam akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen kepada negara anggota BRICS termasuk Indonesia.
Dengan demikian, barang Indonesia yang masuk ke AS berpotensi dikenakan tarif 42 persen.
“Ini kan berarti enggak ada kemajuan dari sisi negosiasi,” ujarnya, Selasa (8/7/2025).
Dia mengungkapkan, tarif Trump 32 persen dapat berdampak signifikan ke perekonomian Indonesia, terutama pada sektor padat karya.
Penurunan ekonomi
Berdasarkan hitungan CELIOS, tarif Trump 32 persen ke Indonesia akan berdampak pada penurunan output ekonomi nasional sebesar Rp 164 triliun.
Kemudian, kebijakan Trump ini juga akan menurunkan pendapatan tenaga kerja hingga Rp 52 triliun, penurunan nilai ekspor hingga Rp 105,9 triliun, dan menurunkan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang.
“Ini cukup signifikan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia karena beberapa sektor padat karya masih bergantung pada AS,” kata Bhima.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pengenaan tarif impor ini akan berdampak signifikan terutama ke industri tertentu.
Sebab, tarif ini menyasar sektor ekspor unggulan yang padat karya.
Dengan tambahan beban tarif, produk kita menjadi relatif lebih mahal dan berisiko ditinggalkan oleh importir AS yang mencari alternatif lebih murah dari negara lain.
“Dalam jangka pendek, ini bisa menekan pendapatan pelaku industri dan berpengaruh pada tenaga kerja, khususnya di daerah sentra produksi,” ujarny.
Misalnya industri sawit, meski AS bukan pasar utama produk sawit Indonesia namun Indoesia menjadi kehilangan sebagian akses pasar produk turunan yng bernilai tambah tinggi.
Hal ini dapat menurunkan volume ekspor dan melemahkan posisi Indonesia dalam rantai nilai global untuk produk agribisnis.
Kemudian, industri padat karya seperti tekstil dan pakaian juga berpotensi kehilangan daya saing di pasar AS karena harganya tidak dapat kompotitif dengan produk dari negara lain yang tidak dikenakan tarif serupa seperti Vietnam dan Bangladesh.
Hal ini akan berdampak pada pengurangan pesanan tekstil dan pakaian dari pembeli AS dan mempengaruhi keberlangsungan usaha kecil dan menengah di sektor ini.
“Ini tentu menjadi sesuatu hal yang perlu diantisipasi mengingat industri TPT juga sudah tertekan di dalam negeri. Artinya, pangsa pasar mereka berkurang baik dari sisi domestik maupun global, karena adanya tarif ini,” tuturnya. (*)