NARAKITA, BANJARNEGARA – Praktik curang dalam distribusi bahan pangan kembali mencuat ke permukaan. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman baru-baru ini mengungkap temuan mencengangkan terkait penyimpangan dalam peredaran beras nasional. Bersama Satgas Pangan, Kementerian Pertanian menemukan ratusan merek beras yang tidak sesuai standar kualitas dan volume.
Dalam pernyataannya, Amran menyebut sedikitnya ada 212 merek beras yang ditemukan mengandung unsur manipulatif, mulai dari pelabelan hingga mutu. Seluruh temuan tersebut sudah dilaporkan kepada Kapolri sebagai bentuk keseriusan pemerintah menindak praktik nakal dalam sektor pangan.
“Yang kami temukan itu ada 212 merek beras yang tidak sesuai regulasi. Ini sudah kami serahkan ke kepolisian agar ditindaklanjuti secara hukum,” kata Amran dalam wawancara yang disiarkan pekan ini.
Temuan ini tak hanya mengejutkan publik, tapi juga mengusik ketenangan masyarakat yang selama ini mempercayai produk beras di pasaran. Pemeriksaan intensif telah dimulai sejak 10 Juli 2025, dengan harapan para pelaku segera mendapatkan sanksi setimpal.
Amran mengungkapkan bahwa sebagian besar dari beras yang diperiksa menggunakan label premium atau medium, namun kualitas isi sebenarnya jauh di bawah standar. Ada yang mencampur beras kualitas rendah, bahkan ada yang memoles beras rusak agar tampak layak konsumsi.
Tak hanya soal beras, Mentan juga menemukan indikasi peredaran pupuk palsu. Ia menyesalkan tindakan para pelaku yang disebutnya sebagai bentuk kejahatan tanpa hati nurani. “Ini tindakan tidak beradab. Mencemari pangan dan merugikan petani serta konsumen,” ucapnya dengan nada geram.
Bersamaan dengan itu, masyarakat pun diimbau untuk lebih berhati-hati saat membeli beras. Penampilan luar yang bersih atau label premium tak selalu menjamin kualitas sebenarnya. Lantas, bagaimana cara membedakan beras asli dan oplosan?
Pakar Teknologi Industri Pertanian dari IPB University, Prof Tajuddin Bantacut, memberikan beberapa panduan sederhana namun penting untuk membedakan beras berkualitas dan yang telah dioplos. Ia menekankan pentingnya memperhatikan warna, aroma, dan tekstur butiran beras.
“Kalau warnanya tidak seragam, aroma aneh, atau butirannya tidak rata—itu indikasi kuat beras tersebut sudah dicampur atau dimanipulasi,” jelas Tajuddin dalam pernyataan yang dikutip dari situs resmi IPB, Senin (14/7/2025).
Beberapa ciri umum beras oplosan yang bisa dikenali di antaranya: terdapat campuran warna kusam dan putih mencolok, butiran beras yang tidak seragam ukurannya, bau tidak segar, serta tekstur nasi yang lembek dan cepat basi setelah dimasak.
Tak hanya itu, beras oplosan juga kerap meninggalkan partikel mencurigakan saat dicuci, seperti serpihan halus atau serbuk putih. Bahkan, ada jenis oplosan yang telah dicampur dengan bahan kimia seperti pemutih dan pengawet, yang sangat membahayakan jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Menurut Prof Tajuddin, ada tiga jenis praktik oplosan yang umum ditemui di pasaran. Pertama, campuran beras dengan bahan lain seperti jagung. Kedua, pencampuran antar varietas beras untuk mengelabui konsumen. Ketiga, yang paling berbahaya, adalah beras rusak yang dikilapkan ulang agar tampak seperti baru.
Konsumsi beras oplosan bukan hanya soal kualitas yang mengecewakan, tapi juga risiko kesehatan serius. Paparan bahan kimia atau mikroorganisme dari beras rusak bisa menimbulkan gangguan pada ginjal, hati, serta sistem kekebalan tubuh.
Untuk menghindari risiko tersebut, masyarakat disarankan membeli beras dari sumber terpercaya, dengan label dan keterangan produsen yang jelas. Hindari beras yang dijual terlalu murah atau dikemas tanpa merek resmi.
Langkah lain yang disarankan adalah selalu mencuci beras sebelum dimasak, periksa apakah ada partikel aneh yang mengambang, dan perhatikan aroma serta teksturnya saat sudah menjadi nasi.
Prof Tajuddin juga mengingatkan agar beras tidak disimpan terlalu lama. Ia menyarankan jangka waktu maksimal penyimpanan enam bulan agar kualitas tetap terjaga.
Suara dari Pengepul Beras
Di sisi lain, seorang pengepul beras di Banjarnegara, Suparlan (47), memberikan tips sederhana namun efektif agar konsumen terhindar dari beras oplosan. Menurutnya, cara paling aman adalah membeli langsung dari penggilingan padi.
“Kalau mau yakin, beli langsung dari pengepul seperti saya di penggilingan. Di sini bisa dilihat langsung prosesnya, kualitasnya, dan nggak mungkin kita campur-campur. Saya dari dulu nggak pernah kepikiran buat nipu orang,” ujar Suparlan saat ditemui di desanya.
Suparlan menambahkan, beras dari desa biasanya berasal dari panen petani setempat yang langsung digiling tanpa proses tambahan. Ia berharap masyarakat tidak terlalu tergoda dengan beras kemasan mencolok yang kadang justru menipu.
Menurut Prof Tajuddin, Indonesia sebagai negara agraris tidak hanya bertanggung jawab dalam hal produksi beras, tetapi juga wajib menjaga kualitas distribusi dan keamanan konsumsi masyarakat.
“Jangan hanya fokus tanam dan panen. Distribusi dan keamanan pangan harus jadi perhatian bersama agar rakyat tetap sehat,” pungkasnya. (*)