NARAKITA, BOGOR – Tragedi keracunan massal yang terjadi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Bogor bukan sekadar kejadian insidental, melainkan cerminan dari kerentanan sistemik dalam manajemen pengolahan makanan berskala besar. Hingga pertengahan Mei 2025, ratusan pelajar dilaporkan mengalami gejala seperti mual, muntah, hingga diare akut usai menyantap makanan dari program tersebut. Pemerintah Kota Bogor pun menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
Kasus ini mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi, salah satunya Guru Besar Keamanan Pangan dari IPB University, Prof Ratih Dewanti-Hariyadi. Ia menyoroti bahwa pangan siap santap yang disiapkan dalam kuantitas besar memiliki risiko kontaminasi yang jauh lebih tinggi dibanding makanan dalam kemasan industri.
“Kategori makanan siap saji yang langsung dikonsumsi tanpa proses pengawetan, seperti yang digunakan dalam program MBG, sangat rentan terhadap gangguan mikroba. Apalagi jika tidak dikelola dengan protokol sanitasi yang ketat,” ujar Prof Ratih dalam keterangan yang dikutip dari laman resmi IPB University.
Dalam praktiknya, sumber pencemaran makanan dapat datang dari berbagai aspek. Mulai dari bahan baku yang tak dicuci bersih, alat-alat masak yang tidak disterilkan, hingga tangan pekerja yang tidak higienis. Belum lagi, metode penyimpanan yang kurang tepat juga dapat memperparah kondisi.
Dari aspek mikrobiologis, sejumlah jenis bakteri diketahui sebagai pemicu utama kasus keracunan, di antaranya Clostridium perfringens dan Bacillus cereus. Kedua mikroorganisme ini memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kondisi panas saat makanan dimasak, lalu aktif kembali saat suhu turun ke zona bahaya (20–50°C).
“Begitu makanan selesai dimasak, proses penurunan suhu menjadi krusial. Jika makanan tetap dibiarkan dalam wadah besar dan tidak segera diporsikan, suhu akan turun secara perlahan dan memberi waktu bagi spora bakteri untuk berkembang dan menghasilkan toksin,” papar Prof Ratih.
Salah satu metode pencegahan paling efektif menurutnya adalah memecah makanan ke dalam wadah-wadah kecil segera setelah proses masak selesai. Dengan cara ini, suhu bisa turun dengan cepat dan mengurangi peluang bakteri berkembang.
Ia menambahkan, sanitasi menyeluruh bukan hanya soal alat dan bahan, melainkan juga soal pemenuhan standar air bersih yang digunakan saat memasak. “Air harus sesuai standar air minum. Tidak cukup sekadar bening atau tidak berbau, tapi harus diuji kelayakannya secara laboratorium,” tegasnya.
Sistem Operasional Prosedur (SOP) dalam dapur massal, lanjut Prof Ratih, harus berjalan dengan disiplin tinggi. Pengawasan terhadap para juru masak, alat pemrosesan makanan, serta ruang produksi tidak bisa dilakukan secara sporadis, melainkan harus menjadi bagian dari sistem audit yang berkelanjutan.
“Dalam skema seperti program MBG, di mana ribuan porsi makanan disiapkan dan didistribusikan dalam waktu singkat, aspek manajerial menjadi sangat menentukan. Satu kesalahan kecil di dapur bisa berdampak pada ratusan anak sekolah,” katanya.
Insiden ini juga memantik diskusi soal kesiapan teknis dan SDM dalam pelaksanaan program sosial berskala besar. Apakah pihak penyelenggara sudah cukup matang dalam menyusun protokol keamanan pangan? Apakah pelaksana di lapangan telah terlatih sesuai standar industri makanan?
Dengan status KLB yang telah ditetapkan, investigasi menyeluruh perlu dilakukan, tidak hanya untuk menentukan patogen penyebab keracunan, tetapi juga untuk mengevaluasi seluruh rantai distribusi makanan: mulai dari dapur, logistik, hingga pengantaran ke sekolah-sekolah.
Selain itu, edukasi terhadap petugas masak dan penyedia katering juga menjadi penting. Pengetahuan tentang suhu aman penyimpanan makanan, tanda-tanda kerusakan bahan, serta teknik sanitasi harus menjadi kurikulum wajib dalam pelatihan pelaksana program pangan massal.
Tak kalah pentingnya adalah komunikasi risiko kepada masyarakat. Transparansi informasi mengenai hasil uji laboratorium, langkah mitigasi, dan upaya pemulihan kepercayaan publik harus dilakukan secara terbuka oleh pemerintah.
Kejadian ini semestinya menjadi momentum untuk merancang ulang protokol keamanan pangan nasional, terutama pada program-program intervensi gizi yang menyasar kelompok rentan seperti anak-anak sekolah.
“Keamanan pangan tidak bisa dianggap sebagai pelengkap dalam perencanaan program, tetapi harus menjadi fondasi utamanya,” pungkas Prof Ratih.