NARAKITA, JAKARTA – Isu kesehatan Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik setelah muncul spekulasi mengenai kondisi fisiknya. Salah satu komentar yang mencuat datang dari dr. Tifa, seorang tokoh medis yang cukup aktif di media sosial dan kerap menyampaikan pendapat-pendapat kontroversial.
Melalui akun media sosial X (sebelumnya Twitter), dr. Tifa menyampaikan pengamatannya terhadap kondisi kulit dan rambut Jokowi. Ia menduga bahwa Presiden tengah mengalami gangguan kesehatan serius, bahkan mengarah pada dugaan penyakit autoimun.
“Pak Jokowi kok seperti kena autoimun? Wajah dan leher tiba-tiba penuh melasma atau bercak-bercak hitam. Dan tiba-tiba juga alopecia berat, rambut rontok mendadak di dahi, ubun-ubun, belakang kepala,” tulis dr. Tifa.
Dalam pernyataannya, dr. Tifa juga menyinggung kemungkinan sindrom Cushing sebagai salah satu indikasi medis. Sindrom ini sering dikaitkan dengan kelainan hormonal, yang tak jarang merupakan bagian dari gejala penyakit autoimun.
Dikutip dari berbagai sumber, penyakit autoimun sendiri merupakan kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang jaringan tubuhnya sendiri. Terdapat lebih dari 80 jenis penyakit autoimun yang diketahui, dan masing-masing memiliki gejala serta tingkat keparahan yang berbeda-beda.
Sistem imun yang seharusnya melindungi tubuh dari infeksi justru menjadi sumber masalah. Antibodi yang dihasilkan menyerang sel-sel sehat dalam tubuh, menyebabkan kerusakan pada jaringan dan organ tertentu.
Hingga kini, penyebab utama penyakit autoimun masih belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi, seperti riwayat keluarga, infeksi virus atau bakteri, paparan bahan kimia berbahaya, merokok, hingga obesitas.
Gejala penyakit autoimun bisa sangat bervariasi. Beberapa di antaranya termasuk kelelahan yang berkepanjangan, nyeri sendi dan otot, demam yang muncul dan hilang, ruam kulit, serta rambut rontok, yang disebut-sebut juga oleh dr. Tifa.
Beberapa contoh penyakit autoimun yang cukup dikenal antara lain lupus, rheumatoid arthritis, psoriasis, multiple sclerosis, dan penyakit Graves. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri meskipun gejala awalnya seringkali mirip.
Lupus, misalnya, bisa menyebabkan nyeri sendi, ruam kulit, dan sariawan. Sementara itu, penyakit Graves cenderung ditandai dengan mata menonjol dan detak jantung yang cepat. Psoriasis lebih terlihat dari kondisi kulit yang menebal dan bersisik.
Salah satu yang cukup dikenal masyarakat adalah penyakit tiroiditis Hashimoto, di mana gejala yang ditimbulkan antara lain peningkatan berat badan secara tiba-tiba, kelelahan, dan kerontokan rambut, seperti yang juga sempat disinggung oleh dr. Tifa.
Gejala penyakit autoimun bisa muncul secara mendadak dan memburuk dalam waktu singkat, kondisi yang disebut flare. Flare biasanya dipicu oleh stres, infeksi, atau paparan sinar matahari yang berlebihan.
Penting bagi siapa pun yang mengalami gejala-gejala tersebut untuk segera memeriksakan diri ke dokter. Penanganan dini sangat berperan dalam mencegah komplikasi yang lebih serius.
Untuk menegakkan diagnosis, dokter biasanya melakukan berbagai pemeriksaan laboratorium. Di antaranya adalah tes ANA (antinuclear antibody), autoantibodi, hingga tes darah lengkap untuk mengetahui kondisi kekebalan tubuh.
Mengingat gejala yang saling tumpang tindih antarjenis penyakit autoimun, proses diagnosis tidak selalu mudah. Diperlukan pemeriksaan lanjutan dan pengamatan jangka panjang untuk memastikan jenis penyakit yang diderita pasien.
Hingga saat ini, kebanyakan penyakit autoimun belum bisa disembuhkan sepenuhnya. Namun, gejalanya dapat dikendalikan melalui kombinasi terapi obat dan perubahan gaya hidup yang sehat dan teratur.
Pengobatan yang umum digunakan termasuk obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), kortikosteroid, hingga obat biologis seperti anti-TNF. Pada beberapa kasus, terapi hormon juga dibutuhkan untuk mengimbangi kekurangan produksi hormon.
Penyakit autoimun juga dapat menimbulkan komplikasi serius jika tidak ditangani dengan baik. Beberapa komplikasi tersebut meliputi gangguan jantung, kerusakan ginjal, gangguan saraf, hingga masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan.
Untuk menekan risiko penyakit autoimun, upaya pencegahan tetap penting. Hal ini bisa dilakukan melalui pola hidup sehat, menghindari paparan bahan kimia berbahaya, serta menjaga berat badan dan sistem imun tubuh.
Meski spekulasi dari dr. Tifa belum dapat dikonfirmasi secara medis, pernyataannya telah membuka diskusi publik tentang pentingnya kewaspadaan terhadap penyakit autoimun. Apalagi jika gejalanya muncul pada tokoh publik seperti Presiden.
Penting untuk tidak langsung menyimpulkan tanpa pemeriksaan medis. Namun, kesadaran publik terhadap gejala dan risiko penyakit autoimun jelas merupakan langkah positif dalam meningkatkan literasi kesehatan masyarakat. (*)