NARAKITA, SEMARANG – Di balik wajahnya yang seram dan sorot mata tajam yang menusuk, burung hantu menyimpan rahasia penyelamat sawah petani Indonesia. Di kala malam merambat dan tikus-tikus lapar mengintai ladang padi, Tyto alba—si burung hantu barn—menjadi penjaga setia yang menebar teror kepada hama penggerogot hasil panen.
Persawahan di Indonesia selama ini dihantui oleh tikus. Dalam satu malam, kawanan pengerat itu bisa menghabisi puluhan hektare tanaman padi. Benih dicuri, batang muda dicabut, dan panen yang diidamkan pupus sudah. Satu induk tikus bahkan bisa melahirkan ribuan keturunan dalam setahun. Tak heran, tikus menjadi musuh bebuyutan yang sulit dikendalikan.
Namun di langit malam, hadir sang pemburu sunyi. Tyto alba, yang bisa memangsa hingga lima ekor tikus per malam, menjelma sebagai solusi alami yang tak hanya efektif tapi juga ramah lingkungan. Tanpa racun, tanpa mesin, hanya dengan sayap dan insting berburu, burung hantu menjaga ladang-ladang dari kehancuran.
Kemampuan burung hantu bukan sekadar mitos. Leher yang bisa berputar 270 derajat, terbang tanpa suara, dan pendengaran super sensitif membuat mereka tak pernah gagal memburu target. Radius terbangnya bisa mencapai 12 kilometer dari sarang. Ini berarti satu burung hantu bisa melindungi lebih dari satu desa jika didukung habitat yang memadai.
Sayangnya, karena wajahnya yang dianggap menakutkan dan sering dikaitkan dengan mitos-mitos mistis, burung hantu sering diburu atau dijauhi. Padahal, ia bukanlah pembawa sial—ia adalah pahlawan sawah yang tak meminta imbalan.
Upaya pelestarian pun terus dilakukan. Petani di Grobogan, Jawa Tengah, menjadi pionir. Sejak 2009, mereka membangun rumah burung hantu atau rubuha di tengah sawah. Hasilnya luar biasa. Tingkat serangan tikus menurun drastis hingga 90 persen pada 2020. Dari hanya 85 unit rubuha di tahun 2011, kini jumlahnya sudah menyentuh hampir seribu.
Kementerian Pertanian mencatat bahwa burung hantu jauh lebih murah dibanding pestisida jangka panjang. Selain itu, mereka menjaga keseimbangan alam tanpa mencemari tanah dan air. Namun tentu, populasi Tyto alba juga harus diawasi agar tidak memangsa satwa lain jika jumlah tikus mulai berkurang.
Yudhistira Nugraha dari BRIN menegaskan, “Pendekatan terpadu dengan metode mekanik dan biologis adalah kunci. Kombinasi keduanya bisa menekan populasi tikus dengan cepat sebelum mereka berkembang lagi.” Ia juga mengingatkan pentingnya pemantauan populasi burung hantu agar tetap seimbang dalam ekosistem.
Melihat keberhasilan di Grobogan, Presiden Prabowo Subianto pun melirik solusi ini. Saat panen raya di Majalengka, ia berencana menggalang pembelian 1.000 burung hantu untuk membantu petani. “Saya dapat laporan soal hama tikus yang pelik. Katanya burung hantu paling bagus. Waduh, ini harga burung hantu bisa naik dong,” ujarnya sambil tertawa.
Program ini bukan sekadar penyelamatan panen, tapi juga langkah menuju pertanian berkelanjutan. Ia sejalan dengan misi Sustainable Development Goals (SDGs) yang mendorong pengurangan bahan kimia dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Agar program ini berhasil, keterlibatan petani menjadi kunci. Mereka perlu diberi edukasi, sarana rubuha, serta perlindungan terhadap burung hantu dari perburuan. Dengan begitu, simbiosis antara manusia dan predator alami bisa terjaga untuk jangka panjang.
Kini saatnya mengubah stigma. Wajah seram burung hantu bukan pertanda malapetaka, tapi simbol harapan. Harapan bagi ladang yang subur, hasil panen yang berlimpah, dan pertanian Indonesia yang kembali berdaulat—berkat penjaga malam yang tak pernah tidur. (Anugrah Al Ghazali)