SECARA konstitusi, terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI pada pemilu presiden 2024 lalu merupakan paket politik bersama Presiden Subianto Prabowo. Sehingga wacana memakzulkan atau melengserkan Gibran dari kursi wapres setelah terpilih sebagai Wapres bersama Prabowo, bukanlah perkara mudah.
Meski tuntutan pemakzulan itu sudah disampaikan Forum Purnawirawan Prajurit (FPP) TNI kepada Presiden Prabowo selaku eksekutif dan DPR/MPR RI selaku legislatif, namun pemakzulan itu butuh proses panjang dan semakin membuat gaduh politik dalam negeri.
Isu pemakzulan bisa jadi hanya bagian dari strategi konflik dalam politik, dalam rangka meningkatkan popularitas Gibran. Dalam politik tentu ini sah-sah saja. bagaimana pun, isu pemakzulan ini menjadi isu yang kontroversial karena posisinya berada di dalam kekuasaan. Kecuali kalau di luar kekuasaan, strategi konfliknya lebih mengarah pada kegiatan mengkritik lawan politik atau penguasa.
Teori konflik dalam politik banyak memunculkan pertentangan, persaingan, dan ketegangan. Hal itu adalah bagian integral dari dinamika politik.Ā Konflik politik muncul karena perbedaan kepentingan, tujuan, dan ideologi antara aktor-aktor politik seperti individu, kelompok, atau organisasi.Ā Teori konflik ini dapat bersifat positif atau negatif. Menjadi positif karena teori ini dapat menjadi ruang penyampaian aspirasi politik melalui mekanisme yang sah. Sementara dapat bersifat negatif apabila konflik yang muncul mengancam stabilitas politik, dan cara yang dilakukan adalah illegal.
Selain sebagai upaya meningkatkan popularitas, isu pemakzulan ini juga bisa jadi sebagai langkah politik Gibran dalam memperkuat citra diri. dengan menarik perhatian public, dan sebuah cara membangun rasa simpati masyarakat atas dirinya sendiri sebagai pihak yang didzolimi.
Apalagi secara konstitusi, pelengseran Gibran itu diyakini tidak akan terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Bahkan isu ini akan dipelihara terus dan menjadi perbincangan public sampai akhir 2027 atau pertengahan 2028. Targetnya, agar public lupa membicarakan tokoh lain, bahkan lupa membicarakan dirinya sendiri. Public akan lebih sibuk membicarakan Sang Wapres terus-terusan hingga tiba-tiba waktunya pemilu tiba.
Bahwa pada 2029 mendatang, jika Gibran maju sebagai calon presiden, maka sudah tidak perlu lagi mengubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum terutama pasal 169 huruf q, terkait batas usia minimal 40 tahun, seperti pada Pemilu 2024 lalu. Karena pada 2029 nanti, usianya sudah menginjak angka 42 tahun atau sudah melebihi batas syarat umur minimal.
Di sisi lain, di tengah usulan pemakzulan ini, Gibran seperti tak mempedulikannya. Dia bersama timnya terus bergerak menjalankan tugas sebagai Wakil Presiden, berkeliling Indonesia, bersama sang istri Selvi Ananda. Begitu pun sang ayah, Presiden RI ke-7 Joko Widodo yang saat ini lebih menyibukan diri dengan isu ijazah palsu.
Politik Algoritma
Dengan adanya isu pemakzulan ini, maka secara otomatis algoritma Gibran terus naik, dan secara otomatis naik pula popularitasnya. Perbincangan masyarakat di dunia digital dan dunia nyata, lambat laun akan fokus pada Mas Wapres, dan mengikis tokoh-lain. Jangankan nama-nama tokoh seperti Anis Baswedan, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, atau Muhaimin Iskandar yang pernah menjadi kompetitornya, bahkan nama Presiden Prabowo dan ayahnya yang tak lain adalah Presiden RI ke tujuh Joko Widodo juga akan ikut tergeser.
Isu pemakzulan ini menjadi salah satu konten politik yang sangat menguntungkan bagi Gibran. Meskipun diantara keuntungan itu hanya berupa popularitas. Namun konten ini membuat, kubu kawan dan lawan politik terus menerus memproduksi isu lanjutan, atau memproduksi ulang isu dan menyebarkan ke jaringan masing-masing.
Dalam kontek politik modern, dunia digital utamanya sosial media, menjadi elemen penting. Algoritma memiliki peran sentral dalam memengaruhi interaksi pengguna dengan konten politik. Secara langsung, algoritma digital memengaruhi cara penyebutan tokoh politik di media sosial dan internet.
Pengguna media sosial dan internet hanya terpapar pada informasi searah sesuai arah dukungan pandangan politik mereka. Istilah kerennya, algoritma digital ini dapat menciptakan āfilter bubleā dan āecho chamberā.
Filter buble merupakan fenomena dimana algoritma menyaring informasi yang ada berdasarkan preferensi dan perilaku online pengguna. Sedang echo chamber adalah situasi dimana pengguna hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa, sehingga memperkuat keyakinan, serta secara tidak disengaja membatasi pengguna dari paparan sudut pandang yang berbeda.
Pola kerjanya, algoritma ini mengpersonalisasikan konten berdasarkan preferensi dan perilaku pengguna.Ā Jika seorang pengguna sering berinteraksi dengan konten politik yang mendukung suatu tokoh, algoritma akan cenderung menyajikan lebih banyak konten serupa, membatasi paparan terhadap pandangan lain.
Algoritma dapat digunakan untuk menyebarkan propaganda digital melalui tagar, bot, akun palsu, dan teknik retorika dan psikologi emosional.Ā Ini dapat menciptakan ilusi dukungan massal dan mencampuradukkan informasi otentik dengan informasi palsu. Algoritma dapat memperkuat polarisasi politik dengan menyajikan konten politik yang lebih emosional dan provokatif, serta memperkuat keyakinan yang sudah ada.
Politik algoritma menjadi strategi Gibran sebagai bentuk persiapan menuju kontestasi politik 2029. Bagaimana pun, di era digital dengan dominasi media sosial, politik algoritma ini telah mengubah cara interaksi dan komunikasi masyarakat penggunanya. Tak tanggung-tanggung, bahkan algoritma media sosial ini dapat memengaruhi proses pembuatan kebijakan public.
Sebelum ada isu pemakzulan, sebelumnya juga sudah banyak isu yang kemudian berubah menjadi konten politik di media sosial. Yakni ketika Gibran membuka kanal lapor warga dengan judul Lapor Mas Wapres. Kanal lapor ini memunculkan kontroversi beragam. Ada yang pro dan kontra. Oleh yang pro, kebijakan tersebut sebagai sesuatu yang baik. Bagi yang kontra, Lapor Mas Wapres dianggap sebagai langkah pelayanan yang keladuk, sekaligus bentuk kampanye terselebung menuju 2029.
Fenomena politik alogritma ini juga dilakukan oleh Jokowi. Ya mungkin Gibran meniru gaya politik ayahnya. Toh ia pernah mengakui bahwa konsultan politiknya adalah ayahnya sendiri. Strategi ini terbukti efektif dalam menarik perhatian dan meningkatkan visibilitasnya di ruang digital yang sangat kompetitif.
Baik Jokowi dan Gibran, keduanya secara cerdas memanfaatkan mekanisme algoritma politik ini untuk membangun citra personal sekaligus menggalang dukungan politik. Isu pemakzulan Gibran, dan isu ijasah palsu, tidak hanya memicu kegaduhan politik, tetapi juga merangsang respons emosional yang tinggi dari publik.
Ruang-ruang debat yang seharusnya diisi dengan diskusi berbasis data, dan argumentasi rasional, perlahan tergantikan dengan diskusi emosional tanpa data dan rasionalitas di ruang digital. Perdebatan yang kemudian menjadi pertunjukkan emosional dengan kemasan sengaja untuk memenuhi selera algoritmal digital.
Peran algoritma akhirnya tidak hanya membentuk persepsi public, tetapi sekaligus mereduksi kompleksitas masalah politik menjadi tontonan viral yang semu.
Mengapa Forum Purnawirawan?
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa yang mengusulkan pemakzulan Gibran ini justeru para purnawirawan TNI? Bukan partai politik, termasuk PDI Perjuangan atau mantan para calon presiden dan calon wakil presiden yang kalah dalam Pilpres 2024 lalu? Padahal sebagian dari mereka, tentu juga turut serta mendukung Prabowo Subianto pasangan Gibran.
Pihak yang paling memungkinkan untuk memakzulkan atau menurunkan seseorang dari jabatan presiden dan atau wakil presiden secara konstitusi adalah lembaga legislatif atau DPR/MPR, bukan forum purnawirawan. Itu pun harus ada alasan yang kuat, misalnya orang tersebut melanggar konstitusi atau melanggar sumpah jabatan.
Sementara anggota DPR/MPR RI yang ada, adalah orang-orang partai politik, yang secara mayoritas adalah pendukung Prabowo-Gibran pada Pemilu 2024 lalu. Sehingga apakah mungkin, partai yang mendukung pencalonannya bersedia melengserkannya?
Sebut saja misalnya MPR RI yang ketuanya Ahmad Muzani, Sekjend Partai Gerindra. Sementara anggotanya tak lain adalah para pengurus partai yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah, kecuali PDI Perjuangan. Bahkan jauh sebelum usulan pemakzulan ini disampaikan FPP masuk ke MPR, Ahmad Muzani dengan tegas mengatakan bahwa pemakzulan itu mustahil terjadi karena Gibran adalah satu paket dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Pun seandainya usulan ini masuk ke DPR RI yang di ketuai Puan Maharani dari PDI Perjuangan. Toh jika usulan ini masuk dalam agenda sidang paripurna DPR, belum tentu juga semua anggota sepakat. Kalau pun akhirnya dilakukan voting, usulan pemakzulan ini pasti hanya akan menguap begitu saja.
Kalau pun PDI Perjuangan yang harus memperjuangkan diterimanya usulan itu, juga sangat tidak mungkin. Sebab PDI Perjuangan sudah tidak mau lagi jadi alat politik gimmick Jokowi dan Gibran.
Di satu sisi, izu pemakzulan ini adalah bagian dari politik algoritma Gibran. Sehingga dalam menjalankan teori konflik, dipilihlah Forum Purnawirawan Prajurit (FPP), yang secara konstitusi tidak memiliki kewenangan. Meskipun secara mekanisme usulan mereka melalui jalur politik di DPR/MPR itu sudah cukup tepat.
Dipilihnya FPP sebagai martir pelontar isu, menjadi bagian dari stategi yang jitu dan pas. Dalam ranah psikologi massa, masyarakat pemilih Prabowo-Gibran cenderung diam. Bagi yang kontra dengan isu ini, secara tiba-tiba dan emosianal akan membela mati-matian. Sementara yang pro dengan isu, akan menyerang habis-habisan pendukung Prabowo-Gibran. Sementara bagi yang tidak berkepentingan, melihat panggung itu akan terpengaruh emosinya. Pilihan mereka akhirnya terbelah, mendukung isu dan semakin mempertajam, atau membiarkannya lalu apolitis.
Sudahlah, isu pemakzulan itu sama halnya dengan isu ijazah palsu. Ramai dan tinggi algoritmanya, namun tidak ada manfaatnya. Toh besok, anda masih harus bekerja untuk menafkahi keluarga. (*)