ISU ijazah ‘palsu’ Presiden periode 2014-2024 Joko Widodo seperti tak ada habisnya. Sudah berapa orang yang harus masuk jeruji penjara karena isu tersebut. Semua masuk penjara karena didakwa menyebarkan berita bohong.
Sebut saja misalnya warga bernama Bambang Tri Mulyono. Warga asli Blora Jawa Tengah yang pertama kali menggugat bahwa ijazah sarjana Jokowi dari UGM itu palsu. Gugatan Bambang Tri dicabut pengadilan dan Bambang Tri divonis bersalah karena menyebarkan berita bohong.
Terakhir, ada lima orang yang dilaporkan Jokowi ke Polda Metro Jaya. Kelimanya dilaporkan atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik menggunakan media elektronik sebagaimana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Kelima orang itu mantan Menpora Roy Suryo (RS), ahli digital forensik Rismon Sianipar (RS), dokter Tifauzia Tyassuma (T), serta sosok berinisial ES dan K.
Isu ijazah palsu ini tak bisa dilepaskan dari konteks Indonesia. Kebenaran terkait isu ini sebenarnya juga sudah tidak menjadi hal yang mendasar lagi mengingat Jokowi sudah tidak lagi membutuhkan ijazah S1 nya tersebut untuk kebutuhan pencalonan ke depan. Namun tuduhan ijazah ini bisa jadi sebagai strategi deligitimasi politik.
Jokowi sebagai mantan pemimpin nomor 1 di Republik Indonesia, menjadi rusak legitimasi kepemimpinannya karena isu ijazah palsu ini menyerang langsung ke aspek mendasar dalam karier politiknya, yaitu keabsahan Pendidikan formal yang menjadi syarat utama mendaftar sebagai Calon Walikota Solo, Calon Gubernur Jakarta, hingga Calon Presiden RI pada 2014 dan 2019.
Jika ternyata ijazah palsu ini benar, dan berhasil masuk dalam persepsi public, maka konsekwensinya tidak hanya melemahkan kredibiltas Jokowi sebagai presiden. Tetapi juga melemahkan legitimasi negara, melegitimasi proses demokrasi dan juga melegitimasi sosok Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka yang tak lain adalah anaknya.
Namun lamanya isu ijazah palsu ini beredar di ruang public, juga tak bisa dilepaskan dari pihak Jokowi sendiri. Jika si pemilik ijazah tersebut menunjukkan ke public secara langsung, maka isu ini selesai dengan sendirinya. Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri sempat menyindir Jokowi.
“Yo orang banyak kok sekarang gonjang-ganjing urusan ijazah, bener opo nggak? Ya kok susah amat ya, kan kalau di ijazah betul gitu, kasih aja, ‘ini ijazah saya’, gitu, lho,” celetuk Megawati di sela-sela sambutannya dalam acara peluncuran buku “Pemahaman Konsepsi Dasar Sekitar Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)’ di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jakarta Pusat Rabu (14/5/2025).
Celetukan yang menjadikan pihak tersindir ikut angkat bicara. Meskipun apa yang dibicarakan tidak nyambung dengan materi celetukan yang dilontarkan Bu Mega, mantan ketua umumnya.
Isu ijazah palsu semakin mempertegas politik post-truth di Indonesia. Dalam era politik post-truth, pandangan politik tidak bisa mengandalkan fakta obyektif. Tetapi lebih mengandalkan emosi dan keyakinan, juga ketidaktransparanan. Era politik ini tidak ada kebenaran sejati yang tersingkirkan oleh berbagai kepentingan dan penyimpangan.
Di era politik post-truth, public hanya disajikan oleh realitas semu hasil yang dibentuk dari narasi, bukan data. Terkait isu ijazah palsu ini, masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi valid berdasarkan data yang kongkrit. Meskipun sebenarnya data tersebut ada.
Namun masyarakat dipaksa untuk menikmati drama demi drama melalui pemberitaan di media dan penampilan tokoh-tokoh atau lembaga yang seharusnya tidak perlu membicarakan ijazah tersebut. Akibatnya, ijazah palsu Jokowi menjadi viral karena ketiadaan inisiatif yang bersangkutan untuk menjelaskan fakta yang sebenar-benarnya.
Jokowi sepertinya membiarkan isu ini menjadi konsumsi public di wilayah ruang-ruang hampa dunia maya. Al hasil, algoritma Jokowi di mata publik masih cukup tinggi dibandingkan Presiden Prabowo. Artinya, isu ini hanya menjadi bagian strategi politik Jokowi untuk tetap menjadi orang yang sering dibicarakan publik meskipun posisinya sudah bukan lagi presiden.
Apalagi beberapa waktu sebelumnya, sejumlah wartawan dan orang-orang dekat Jokowi tampil di publik dan mengaku pernah diperlihatkan dengan ijazah asli tersebut. Namun oleh Jokowi, ijazah asli itu hanya untuk diperlihatkan ke mereka. Baik wartawan dan orang-orang di perlihatkan ijazah itu tidak diperkenankan mem-foto atau bahkan menyentuh ijazah yang katanya asli.
Politik Yang Penting Viral
Menempatkan isu ijazah palsu menjadi isu yang memuncaki ternding sosial media dan viral, sepertinya menjadi target pihak-pihak yang berkepentingan. Strategi politiknya adalah yang penting viral. Strategi ini mengacu pada pendekatan politik yang lebih menekankan popularitas dan perhatian publik dibanding substansi kebijakan atau norma atau suatu program yang baik lainnya. Akhirnya, masyarakat terus disibukkan dengan pembicaraan ruang-ruang hampa atas isu viral yang lagi trending topik di media sosial.
Pendekatan politik yang penting viral ini secara tidak langsung berakibat pada kualitas politik. Dimana legitimasi politik oleh negara atau para pihak yang menjadi penyelenggara dan peserta demokrasi dipertanyakan, atau delegitimate.
Popularitas menjadi tujuan utama dari strategi yang penting viral ini. Misalnya begini, ada politisi yang tiba-tiba viral lantaran isu skandal yang dibuatnya. Isu tersebut sebetulnya cukup mengganggu dia sendiri dan keluarga tentunya. Namun karena demj popularitas agar semakin naik, dia membiarkan isu tersebut terus berkembang.
Bahkan kalau perlu, isu skandal itu ditambahi dengan bumbu-bumbu dari orang sekitar. Isu pun dikembangkan seolah-olah terdzolimi, lalu ada masyarakat baik secara perorangan atau kelembagaan yang melakukan pembelaan. Hal itu bisa dilihat dari perkembangan demi perkembangan isu ijazah palsu Jokowi ini.
Bayangkan saja jika ternyata ijazah itu benar-benar palsu. Maka banyak lembaga pemerintah yang sebelumnya menegaskan ke aslian ijazah untuk keperluan beberapa peristiwa karier politik Jokowi. Pertama tentu Faktultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) secara khusus dan dan legitimasi UGM sebagai perguruan tinggi negeri.
Bagaimana tidak? Ketika ijazah tersebut dilampirkan bersama formular pendaftaran Calon Walikota Solo dua kali, Calon Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, dan Calon Presiden RI dua kali, 2014 dan 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentu sudah mengkonfirmasi keaslian ijazah tersebut ke UGM. Kalau kemudian sekarang keaslian ijazah dipertanyakan, apakah itu tidak bisa menjawab keraguan pubik yang mempertanyakan?
Di sisi lain, selama Jokowi menjabat, mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI dan Presiden RI selama 10 tahun, banyak kebijakan dan keputusan yang gandeng renteng terpengaruh. Meskipun pengaruhnya sudah tidak cukup signifikan. Meski sangat tidak signifikan, tetapi itu cukup membuat keputusan dan kebijakan politiknya menjadi delegitimate. Termasuk keputusan-keputusan pejabat-pejabat yang pernah diangkat dan dilantiknya.
Kemudian sisi partai yang mengusung Jokowi di setiap kontestasi politik yang dilaluinya, PDI Perjuangan. Di mata publik, PDI Perjuangan akan menjadi pihak pertama yang dipersalahkan oleh publik lantaran tidak meneliti secara detail dokumen-dokumen yang menjadi syarat utama pendaftaran di setiap kontestasi politik Jokowi.
Meskipun kini Jokowi dan anak-anaknya bukan lagi kader PDI Perjuangan lantaran sudah dipecat di akhir 2024 lalu karena dianggap mengkhianati partai, namun publik tentu masih menyalahkan PDI Perjuangan karena memberikan rekomendasi orang yang secara akademik tidak cukup memiliki kecakapan.
Butuh Integritas dan Keterbukaan
Isu ijazah palsu ini membutuhkan integritas dan keterbukaan para pihak, terutama Joko Widodo sendiri. Mengingat isu ini mestinya sudah selesai jika dia menuruti keinginan publik dengan menunjukkan ijazah aslinya ke publik. Yang terjadi justeru sebaliknya. Jokowi terus mendayu-dayu dan menari-nari di atas isu ini dan seolah berharap isu tak segera berakhir.
Dalam konteks komunikasi politik modern, kejujuran dan transparansi dari figur publik bukan sekadar prasyarat moral, namun juga fondasi utama bagi legitimasi politik. Kredibilitas seorang publik figure sangat ditentukan persepsi publik dengan integritas dn keterbukaannya.
Jika Jokowi sebagai publik figur, mantan Presiden RI ini mengelola informasi secara jujur dan terbuka, tentu akan terjadi proses komunikasi dua arah. Sebaliknya ketika diduga memanipulasi dan memalsukan data terkait dengan ijazah, maka terjadi deligitmasi tidak hanya ke dirinya sebagai individu, tetapi juga terhadap keseluruhan lembaga demokrasi yang ada di Indonesia.
Begitu juga ketika Jokowi menutup-nutupi riwayat pendidikan, kekayaan, atau keputusan strategisnya, maka terjadi disrupsi terhadap ruang publik yang seharusnya menjadi arena pertukaran wacana kritis. Oleh karena itu, dalam perspektif komunikasi politik, tuntutan publik agar para pemimpin jujur dan transparan bukanlah serangan personal, melainkan bentuk artikulasi sehat dari kontrol demokrasi.
Kecuali jika benar kalau isu ini dipelihara oleh yang bersangkutan agar tetap menjadi viral, populer dan terus menerus diperbincangkan publik di dunia maya atau di warung-warung kopi.