SUASANA dingin Lembah Asri Serang, Karangreja, terasa hangat oleh sambutan antusias ribuan warga dan wisatawan. Jumat (4/7/2025), Festival Gunung Slamet (FGS) #8 resmi dibuka. Ini bukan sekadar festival tahunan biasa—melainkan perayaan budaya, ekonomi, dan pariwisata yang menyatukan semangat masyarakat Purbalingga dari berbagai penjuru.
Wakil Bupati Purbalingga, Dimas Prasetyahani, membuka FGS dengan semangat tinggi. Ia menegaskan komitmen Pemerintah Kabupaten Purbalingga untuk menjadikan FGS sebagai event berkelanjutan yang terus berkembang. “Kita bikin Serang seperti Batu Malang,” ujarnya optimis di tengah sorak tepuk tangan hadirin.
Sejak dimulai delapan tahun lalu, FGS terus naik kelas. Kini, event ini masuk dalam daftar Karisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata RI—pengakuan nasional yang membawa nama Purbalingga melesat dalam peta wisata Jawa Tengah.
Tahun ini, tema besar “The Royal Journey” diangkat, menandai perjalanan budaya yang megah dan sakral. Hari pertama dimulai dengan kegiatan spiritual: bersih desa, kenduri, dan senam bersama masyarakat. Energi damai dari pagi hingga sore tak surut meski hawa gunung menyelimuti area festival.
Di malam harinya, FGS menghadirkan gelar seni desa wisata lingkar Slamet. Lampu-lampu tenda UMKM mulai menyala, aroma kopi khas Purbalingga menggoda indera, sementara suasana khidmat terasa dalam munajat bersama Gandrung Nabi dan Gus Mohammad Luqman.
Sabtu jadi puncak pesta budaya. Dimulai dari ritual pengambilan air suci di Tuk Sikopyah, masyarakat lalu berpawai dalam kirab budaya yang memukau, mengarak simbol-simbol adat hingga ke panggung utama. Tradisi ruwat bumi menambah kesakralan, menegaskan hubungan erat masyarakat dengan alam Gunung Slamet.
Siang menjelang sore, ribuan warga berkumpul dalam acara makan bersama 8.888 nasi 3G—singkatan dari Gundil, Gandul, dan Gereh. Targetnya bukan main: mencetak rekor MURI dan bahkan rekor dunia. Wabup Dimas menyebut kegiatan ini bukan hanya soal makan, tapi juga tentang kebersamaan dan nilai gotong royong.
Saat malam turun, kabut lembut menyelimuti venue. Namun semangat tidak meredup. Acara Akustik Kabut Lembut pun dimulai. Artis nasional Ghea Indrawari tampil memukau, suaranya menggema di antara dinginnya udara dataran tinggi Serang.
Tak hanya budaya dan musik, FGS juga menggandeng para pecinta olahraga lewat sport tourism. Minggu (6/7/2025) pagi, ratusan pelari memulai Trail Run di jalur alam sekitar Gunung Slamet. Medan yang menantang jadi daya tarik tersendiri bagi para pelari dari dalam dan luar daerah.
Puncak kegembiraan hadir dalam tradisi perang tomat. Ribuan tomat dilempar dengan penuh suka cita—simbol pembersihan, pelepasan stres, sekaligus promosi hasil bumi lokal. Keceriaan pun tumpah ruah, anak-anak, orang tua, hingga wisatawan luar tak mau ketinggalan momen ini.
Festival ditutup dengan Suaraloka Gunung Slamet. Kali ini giliran MAssDDDHO yang menghipnotis panggung. Musik mereka menutup rangkaian tiga hari penuh warna, menyisakan kesan mendalam bagi siapa pun yang hadir.
Wabup Dimas pun memilih tinggal penuh tiga hari di lokasi, menunjukkan betapa serius dukungan pemerintah terhadap event ini.
“Saya akan boost terus di media sosial supaya makin banyak yang datang. Kita bikin Karangreja seperti Jakarta,” ujarnya sambil tersenyum.
Di sisi lain, efek ekonomi juga tak main-main. Kepala Desa Serang, Sugito, menyebut setiap tenant bisa mengantongi omset hingga Rp 3 juta per hari. Target pengunjung pun ditingkatkan menjadi 50 ribu, naik dari 43 ribu tahun lalu.
Festival Gunung Slamet #8 sekali lagi membuktikan bahwa potensi lokal jika dikelola dengan kolaboratif dan kreatif, bisa menjadi daya magnet nasional. Di kaki Gunung Slamet, tiga hari ini menjadi catatan indah tentang budaya, persaudaraan, dan semangat membangun bersama. (*)