NARAKITA, MALANG – Polemik seputar larangan penggunaan sound horeg terus menjadi perbincangan hangat, tak hanya di kalangan tokoh agama dan masyarakat, tetapi juga di antara pelaku usaha yang berkecimpung di dunia penyewaan sound system.
Meskipun sejumlah pesantren dan tokoh agama di Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa penggunaan sound horeg haram secara mutlak, para pengusaha di bidang ini memilih untuk menyikapinya dengan tenang dan hati-hati.
Salah seorang pengusaha penyewaan sound system asal Malang, David Stefan, menyampaikan bahwa dirinya tidak bisa begitu saja menghentikan layanan yang sudah menjadi bagian dari permintaan masyarakat. Ia menilai peran penyedia jasa hanyalah sebatas memenuhi kebutuhan konsumen.
“Kami bekerja atas dasar permintaan. Kalau masyarakat masih membutuhkan, tentu kami menjalankan. Tapi tetap, kami tidak ingin benturan dengan aturan yang berlaku,” ujarnya saat dikonfirmasi pada Rabu (2/7/2025).
David, yang tergabung dalam komunitas penyedia jasa sound di Malang, menilai bahwa keputusan-keputusan keagamaan soal sound horeg perlu dilihat secara utuh. Menurutnya, aspek sosial dan ekonomi dari kegiatan semacam ini juga patut dipertimbangkan.
Ia mengungkapkan, dalam banyak kasus, penyelenggaraan acara yang melibatkan sound horeg justru turut membuka peluang amal, seperti donasi anak yatim, bedah rumah, bahkan membantu pembangunan tempat ibadah.
“Banyak kegiatan yang dananya berasal dari acara seperti ini. Parkirnya dikelola untuk kegiatan sosial, pedagang kecil pun ikut merasakan dampaknya,” terang David.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa para pelaku usaha di Kabupaten Malang tidak serta-merta bergerak liar. Mereka telah bersepakat dengan pemerintah daerah serta tokoh masyarakat dalam forum diskusi yang menghasilkan panduan teknis penggunaan sound system di ruang publik.
“Kami sudah duduk bersama dalam FGD. Ada batasan volume, durasi pemakaian, dan waktu yang diperbolehkan. Jadi bukan semata-mata liar di lapangan,” imbuhnya.
David juga mengatakan bahwa pihaknya terbuka jika memang ada pengaturan baru yang lebih tegas, selama dilakukan dengan musyawarah dan mempertimbangkan realitas sosial. Ia berharap suara pelaku usaha juga ikut didengar dalam pengambilan kebijakan.
Sebelumnya, keputusan untuk mengharamkan sound horeg secara terang-terangan dikeluarkan oleh Pondok Pesantren Besuk di Kabupaten Pasuruan. Alasannya antara lain karena kebisingan yang ditimbulkan, potensi keributan sosial, serta pelanggaran terhadap nilai-nilai adab dalam Islam.
Fatwa tersebut mendapat sambutan dari berbagai tokoh, termasuk dari kalangan Nahdlatul Ulama di Situbondo. Banyak yang menilai, suara berlebihan dari sound horeg sudah melewati batas dan justru mengganggu hak orang lain.
Namun, dari sudut pandang pelaku usaha, sound horeg bukan sekadar hiburan semata, melainkan telah menjadi bagian dari ekosistem sosial dalam masyarakat yang kerap berkegiatan di ruang terbuka.
“Kami juga warga yang ingin taat aturan. Tapi perlu dicari jalan tengah, agar tidak serta-merta mematikan usaha orang lain,” pungkas David.
Ke depan, David berharap ada regulasi yang jelas dari pemerintah yang tetap mengedepankan ketertiban tanpa menutup sepenuhnya peluang ekonomi warga kecil.
Dengan semakin banyaknya pihak yang angkat suara, perdebatan seputar sound horeg tampaknya belum akan mereda. Namun harapannya, solusi damai yang mengedepankan keseimbangan antara nilai agama, etika publik, dan aspek ekonomi masyarakat bisa segera diwujudkan. (*)