NARAKITA, JAKARTA- Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, menyebut kasus hukum yang menimpa Tom Lembong sebagai contoh konkret lemahnya kepastian hukum di Indonesia. Suatu kondisi yang disebutnya mengancam langsung pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Menurut Didik, sistem hukum yang bisa diintervensi kekuasaan dan bersifat tidak konsisten telah lama menjadi penghambat efisiensi ekonomi. Ia menyoroti bahwa tingginya biaya transaksi dalam bisnis seringkali berakar dari hukum yang lemah.
“Biaya transaksi adalah biang kerok, bahkan bisa disebut sebagai ‘setan’ dalam dunia bisnis. Dan itu muncul dari sistem hukum yang buruk,” tegasnya dalam pernyataan tertulis, Sabtu (2/8).
Sebagai Rektor Universitas Paramadina, Didik juga mengkritik keras dugaan kriminalisasi bernuansa politik yang membayangi kasus Lembong. Ia menyebut bahwa praktik intervensi kekuasaan terhadap hukum sudah menjadi pola yang diwariskan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya.
Prinsip Hukum
“Praktik kriminalisasi semacam ini terjadi di semua rezim, tapi sangat vulgar di masa Presiden Jokowi,” ujar Didik. Ia menyesalkan bahwa prinsip dasar dalam hukum, lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang tak bersalah telah diabaikan.
Menurutnya, jika hal ini dibiarkan, Indonesia berisiko masuk ke dalam jebakan failed state, di mana ekonomi hanya menjadi alat eksploitasi elite penguasa. “Negara dengan sistem hukum lemah cenderung terjebak dalam krisis jangka panjang. Efisiensi ekonomi akan rusak total bila hukum hanya jadi alat politik,” lanjutnya.
Di akhir pernyataannya, Didik mendesak pemerintah melakukan reformasi sistem hukum secara menyeluruh, terutama dalam menjaga independensi peradilan dari tekanan politik. “Hukum adalah jantung dari kepastian ekonomi. Jika jantungnya rusak, seluruh tubuh perekonomian akan ikut lumpuh,” tutupnya. (*)