PENAHANAN eks Dirut PT Sri Rejeki Isman Tbk. (PT. Sritek) Iwan Setiawan Lukminto menjadi drama penutup perusahaan yang memproduksi pakaian khusus untuk tentara tersebut.
PT Sritex sendiri tutup secara resmi 1 Maret 2025 setelah dinyatakan pailit dan tidak mampu menuup hutang-hutangnya pada Oktober 2024. Meskipun resmi ditutup, namun perusahaan tersebut menyisakan sejumlah persoalan hukum. Terakhir, eks Dirut Sritek Iwan Setiawan Lukminto ditangkap Kejaksaan Agung, Selasa 20 Mei 2025 dan sehari setelahnya naik status ditahan.
Sebelum dinyatakan pailit, PT Sritex terjerembab pada hutang bank yang cukup besar. Selain pada bank swasta seperti BCA, Permata, juga Bank Muamalat, perusahaan tekstil yang ada di Sukoharjo, Jawa Tengah ini juga terlilit hutang di bank plat merah yaitu BNI, Bank BJB, Bank Jateng, dan Bank DKI.
Total hutang Sritek ke bank plat merah tersebut mencapai Rp 4,2 triliun. Rinciannya Rp 2,9 triliun di BNI, Rp 611 miliar di Bank Jabar Banten (BJB), Rp 502 miliar di Bank Jateng dan Rp 185 miliar di Bank DKI. Sayangnya, pemberian kredit oleh bank-bank plat merah ini menjadi kredit macet.
Keberanian bank-bank pemerintah mengucurkan kredit ke Sritex ini menjadi tanya besar. Mengingat kredit itu diberikan kepada perusahaan yang sedang dalam proses pailit di pengadilan.
Apalagi jika melihat kewajiban keuangan (liabilitas) Sritek sangat tinggi mencapai Rp 25 triliun, dengan kondisi aset dan modal (ekuitas) yang dimilikinya hanya Rp 16 triliun, mengapa kredit itu diloloskan. Hasil kurasi tim kurator jelas menunjukkan bahwa modal dan aset Sritek jauh dibawah kewajiban dan tanggungan hutangnya.
Kejaksaan Agung diharapkan mengusut tuntas kasus ini. Desas-desus yang berkembang, ada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Iwan Setiawan. Sejumlah dugaan tindak pidana yang dilakukan yaitu penggunaan dokumen palsu, menggelembungkan nilai piutang, mengagunkan aset yang sebelumnya sudah diagunkan, penggunaan utang tidak sesuai dengan peruntuknya, dan dugaan tindak pidana pencucian uang.
Jika dugaan-dugaan tindak pidana itu benar adanya, maka kejahatan ini sangat jelas sudah direncanakan sejak awal. Artinya sebelum Sritex mengajukan kredit ke BNI, BJB, Bank Jateng dan Bank DKI, bisa jadi Iwan Setiawan sudah menyiapkan dokumen-dokumen palsu agar pengajuan kredit disetujui.
Terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Kejagung tinggal mengusut catatan keuangan di masing-masing bank dan PT Sritek sendiri. Apakah benar, besaran nominal kredit yang diberikan, itu sama persis dengan nominal kredit yang diterima dan dicatat dalam keuangan perusahaan. Sebab isu yang beredar, ada selisih angka dalam buku catatan keuangan pihak bank dengan Sritek. Catatan Bank Jabar Banten misalnya. Dalam catatan keuangan BJB, kredit yang diajukan Sritex dan disetujui sebesar Rp 611 miliar. Namun dalam catatan Sritex, mereka hanya menerima sekitar Rp 570 miliar.
Bank Jateng yang dalam catatan keuangannya menyetujui dan memberikan kredit ke Sritex sebesar Rp 502 miliar, dalam catatan keuangan Sritex hanya menerima Rp 450-an miliar. Jika ini benar, maka sangat tidak mungkin Iwan Setiawan menjalankan kejahatannya sendirian.
Bahkan jika tidak ada jaminan keamanan dari petinggi negeri dan petinggi bank-bank tersebut, sangat tidak mungkin Iwan Lukminto melangkah mulus dalam menjalankan niat jahatnya. Apakah para pimpinan bank-bank negara ini juga berani memberikan kredit ke perusahaan yang sudah di ujung ajalnya?
Secara logika, tentu tidak akan berani, kecuali pejabat pemegang saham utama merestui pengucuran kredit tersebut. Kita tunggu saja pengusutan yang dilakukan Kejagung. Sementara ini, selain Iwan, Kejagung turut menetapkan tersangka Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT BJB Tahun 2020 berinisial DS dan Direktur Utama PT DKI Jakarta Tahun 2020 berinisial ZM.