NARAKITA, BALI – Minimnya perhatian pemerintah terhadap komoditas cokelat, baik dalam aspek promosi, pendampingan petani, maupun hilirisasi produk,mendapatkan sorotan tajam Komisi IV DPR RI.
Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Hariyadi, menyoroti potensi besar cokelat Indonesia sekaligus berbagai tantangan yang dihadapi sektor perkebunan, terutama terkait regenerasi petani.
“Produksi cokelat di sini luar biasa. Kita ini salah satu penghasil cokelat terbesar di dunia. Tapi masih bisa ditingkatkan lagi,” ujar perempuan yang kerap disapa Titiek Soeharto itu saat meninjau langsung kebun cokelat di kawasan Tabanan, Bali, Jumat (18/07/2025).
Menurutnya, salah satu kendala utama dalam pengembangan industri cokelat adalah minimnya keterlibatan generasi muda. Banyak petani cokelat saat ini sudah lanjut usia, sementara anak-anak muda enggan kembali ke desa untuk menggeluti dunia pertanian.
“Ini menjadi tugas kita bersama, baik kementerian maupun Komisi IV DPR RI, bagaimana mendorong petani-petani muda agar mau terjun ke perkebunan cokelat. Harus ada pelatihan, bimtek, penyuluhan, supaya mereka tahu bahwa cokelat adalah komoditas yang sangat menjanjikan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah dalam penyediaan bibit cokelat unggul. “Satu pohon bisa menghasilkan hingga dua kilogram biji kering. Harga saat ini Rp150 ribu per kilogram. Artinya, satu hektar kebun bisa menghasilkan hingga Rp300 juta per tahun. Tapi sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum tahu potensi sebesar ini,” ungkapnya.
Anggota Komisi IV Adrianus Asia Sidot menambahkan, perhatian pemerintah terhadap komoditas cokelat, baik dalam aspek promosi, pendampingan petani, maupun hilirisasi produk tergolong minim. Ia menilai bahwa Indonesia berpotensi besar untuk kembali menempati posisi produsen cokelat terbesar kedua di dunia, asalkan ada kebijakan pemerintah yang konsisten dan menyeluruh.
“Selama ini, pemerintah hampir tidak pernah bicara soal cokelat. Yang dibicarakan hanya padi, sawit, atau komoditas besar lainnya. Akibatnya, banyak petani, khususnya generasi muda, tidak mengenal potensi cokelat,” ujar Adrianus.
Menurutnya pemerintah abai, hingga petani seolah tanpa arah dan dukungan dari pemerintah. Ia juga menambahkan, bahwa fluktuasi harga yang tidak dikawal pemerintah juga menjadi penyebab utama menurunnya semangat petani. Harga cokelat bisa anjlok drastis tanpa ada mekanisme pengendalian yang jelas.
“Harga cokelat bisa dari Rp20.000 ke Rp200.000 per kilogram, lalu turun lagi. Ketidakpastian ini membuat petani bingung dan enggan melanjutkan budidaya,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa menanam cokelat jauh lebih mudah dibandingkan dengan sawit, sehingga jika didukung dengan bibit unggul, manajemen pascapanen, dan kepastian pasar, petani tidak akan ragu menekuni komoditas ini kembali.
Beberapa contoh produk hilirisasi dari cokelat, antara lain, yaitu tepung cokelat untuk bahan makanan dan minuman, minyak cokelat (cocoa butter) untuk industri kecantikan dan farmasi, Kosmetik berbahan dasar cokelat, suplemen atau bahan aktif dalam obat-obatan herbal, Parfum dan aromaterapi, dan Produk-produk premium seperti praline, dark chocolate, atau produk artisan lainnya.(*)