DEL MONTE, merek makanan legendaris yang telah melekat di benak masyarakat selama lebih dari satu abad, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Perusahaan yang dikenal luas dengan produk buah dan sayur kaleng itu resmi mengajukan kebangkrutan setelah 138 tahun berdiri.
Langkah ini diumumkan pada Selasa (2/7) waktu Amerika Serikat. Del Monte secara resmi mengajukan perlindungan hukum berdasarkan Bab 11 (Chapter 11) dalam sistem kebangkrutan AS, yang memungkinkan perusahaan untuk merestrukturisasi utang sambil tetap menjalankan operasional.
Presiden dan CEO Del Monte Foods, Greg Longstreet, menyatakan bahwa keputusan ini diambil setelah melakukan pertimbangan mendalam terhadap berbagai opsi. Menurutnya, proses penjualan aset di bawah pengawasan pengadilan dianggap sebagai cara terbaik untuk menjaga masa depan perusahaan.
“Tujuan kami adalah menciptakan fondasi baru bagi Del Monte agar dapat bangkit lebih kuat dan tetap relevan di masa depan,” ujarnya dikutip dari CNN Business.
Del Monte selama ini merupakan salah satu pemain utama dalam industri makanan olahan, dengan berbagai merek ikonik seperti College Inn, Contadina, dan tentu saja Del Monte sendiri. Produk-produknya selama puluhan tahun menjadi pilihan banyak keluarga, terutama dalam bentuk kaleng.
Namun, dalam dokumen yang diajukan ke pengadilan, terungkap bahwa perusahaan kini menanggung beban utang besar, yakni antara US$1 miliar hingga US$10 miliar atau sekitar Rp16 triliun hingga Rp162 triliun.
Meski tengah dalam masa sulit, Del Monte disebut telah memperoleh pembiayaan baru senilai US$912,5 juta (sekitar Rp14,8 triliun) guna menopang operasional mereka selama proses penjualan berlangsung. Dana ini penting, terutama saat mereka bersiap menghadapi musim panen utama untuk produksi kaleng.
Perjalanan panjang Del Monte sebagai produsen makanan olahan dimulai sejak 1886. Pada 1907, mereka membangun fasilitas pengalengan di San Francisco yang dua tahun kemudian menjadi yang terbesar di dunia. Namun masa kejayaan itu kini seolah menjadi sejarah.
Berbagai tekanan turut menyeret perusahaan menuju krisis. Selain kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, Del Monte juga terdampak perubahan besar dalam perilaku belanja konsumen.
Konsumen kini cenderung memilih merek private label yang lebih murah, serta beralih ke makanan segar atau produk yang dianggap lebih sehat dan bebas pengawet. Perubahan ini cukup signifikan dalam menggerus pasar produk makanan kaleng.
Sarah Foss, pakar hukum restrukturisasi dari Debtwire, menyebut Del Monte menghadapi kesulitan menyeimbangkan biaya operasional dengan penurunan permintaan. Akibatnya, stok menumpuk dan perusahaan harus melakukan diskon besar-besaran untuk menjaga arus kas.
Ia menambahkan bahwa lonjakan harga bahan baku dan distribusi juga memberi tekanan tambahan. Dalam situasi ini, strategi promosi dan manajemen persediaan menjadi tidak cukup untuk menyelamatkan arus bisnis mereka.
Del Monte bukan satu-satunya merek besar yang tumbang di era modern ini. Banyak perusahaan makanan tradisional kini berjuang menghadapi tantangan dari tren gaya hidup sehat dan maraknya produk lokal serta organik.
Perusahaan ini berharap, dengan masuknya investor baru dan adanya proses restrukturisasi, Del Monte masih bisa mempertahankan sebagian operasional dan kembali bersaing di pasar makanan olahan global.
Langkah kebangkrutan ini juga memberi sinyal penting bagi pelaku industri serupa: adaptasi terhadap kebutuhan konsumen dan efisiensi operasional menjadi kunci bertahan di tengah gempuran perubahan zaman.
Kini, nasib Del Monte berada di tangan pengadilan dan calon pembeli yang berminat mengakuisisi aset mereka. Apakah merek legendaris ini akan mampu bangkit dari keterpurukan, masih menjadi tanda tanya besar.
Namun yang pasti, cerita kebangkrutan Del Monte akan menjadi pengingat bahwa usia panjang perusahaan tidak menjamin kekebalan dari perubahan pasar yang begitu cepat dan dinamis.(*)