NARAKITA, SEMARANG – Di balik keberagaman budaya yang membentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia menyimpan harta karun rasa yang tak ternilai: kuliner tradisional.
Pulau Jawa, sebagai salah satu pusat peradaban Nusantara, menjadi ladang subur lahirnya sajian khas yang mencerminkan watak daerah dan filosofi hidup warganya.
Dari lalapan segar di Tanah Sunda, rasa manis penuh santan khas Yogyakarta, hingga petis pedas ala Jawa Timur—semuanya menyimpan cerita, sejarah, dan selera yang berbeda namun saling melengkapi.
Menjelajahi Jawa Barat, kita akan dibuai oleh semilir angin pegunungan dan hidangan yang serba segar. Karedok misalnya, hadir tanpa perlu dimasak, cukup disiram sambal kacang kental dan disantap begitu saja. Lalapan seperti kemangi, leunca, hingga timun menjadi pendamping wajib yang seolah tak lengkap jika tak disertai sambel dadak—sambal spontan yang baru dibuat saat itu juga.
“Orang Sunda suka yang seger, sambal dibuat pas mau makan biar lebih nendang rasanya,” kata seorang penjual pecel leunca di Lembang.
Sementara itu, nuansa berbeda menyelimuti dapur-dapur Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di sini, rasa manis adalah bahasa utama. Gudeg menjadi ikon utama—nangka muda yang dimasak berjam-jam dalam santan, menghasilkan sajian manis legit yang berpadu dengan areh dan sambal krecek. Kesederhanaan dalam racikan, seperti pada tempe thewel atau botok, justru menjadi daya tarik tersendiri.
Di kanal YouTube “Dapoer Kenangan”, seorang ibu-ibu asal Klaten menyebut, “Masakan Jawa Tengah itu gak neko-neko. Bumbunya gak banyak, tapi rasanya nancep.”
Beranjak ke timur, lidah diajak berjoget oleh kehadiran petis dan terasi dalam hampir setiap masakan. Pecel Madiun yang kaya akan sayur rebus dan sambal kacang pedas, tahu tek dengan guyuran petis kental, hingga rujak cingur yang menyatukan irisan buah, sayur, dan moncong sapi dalam satu piring penuh tantangan rasa.
Makanan Jawa Timur banyak diolah dengan teknik yang bervariasi: direbus, digoreng, hingga dibakar. Ini mencerminkan sifat warganya yang energik dan lugas. “Kalau belum pedas, rasanya kayak belum makan,” kelakar seorang pedagang rawon di Pasar Atom, Surabaya.
Menariknya, perpindahan penduduk dan kemudahan distribusi membuat batas rasa menjadi kabur. Sekarang, bukan hal aneh menemukan nasi liwet Sunda di pusat kota Solo, atau rujak cingur Surabaya yang laris di pusat kuliner Cihampelas, Bandung. Lidah orang Jawa mulai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan rasa dari luar daerahnya.
Tak hanya soal bahan, cara penyajian pun menjadi cermin budaya. Di Jawa Barat, makan bersama di atas daun pisang menandakan kebersamaan. Di Yogyakarta, penyajian dalam pincuk atau pincukan menekankan kesederhanaan. Sedangkan di Jawa Timur, lauk melimpah dalam satu piring menunjukkan semangat hidup yang berapi-api.
Namun satu benang merah yang menyatukan semua rasa ini adalah sambal. Baik dadakan, dicampur petis, maupun digoreng, sambal menjadi identitas kuliner Jawa yang tidak bisa digantikan. Ia adalah pelengkap, penyatu, bahkan pengangkat cita rasa utama.
Lebih jauh, kuliner menjadi jendela untuk memahami karakter masyarakat. Kelezatan masakan tidak berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh geografis, sejarah, hingga nilai sosial. Rasa segar di dataran tinggi Jawa Barat, manisnya kehidupan kraton di Yogyakarta, serta tajamnya bumbu di pesisir timur—semua mencerminkan cara hidup masyarakatnya.
Maka, menikmati makanan khas dari setiap daerah di Jawa bukan sekadar memuaskan perut, tapi juga mempelajari bab demi bab sejarah dan budaya yang hidup dalam setiap suapan.
Dengan kekayaan seperti ini, tidak berlebihan jika pulau Jawa disebut sebagai lumbung rasa Nusantara. Karena sejatinya, setiap makanan bukan hanya untuk disantap, tapi juga untuk diceritakan kembali.