NARAKITA, JAKARTA- Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) mengajukan anggaran sebesar Rp335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) tahun 2026. Anggaran sebesar itu guna menyasar ke 82,9 juta penerima.
Jumlah itu merujuk pada surat dari Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/BAPPENAS bahwa pagu indikatif aggaran BGN tahun 2026 sebesar Rp217 triliun. Lalu ditambah pengajuan penambahan anggaran sebesar Rp118 triliun. Kebutuhan anggaran progam MBG sendiri dalam setiap bulannya di tahun 2026 mencapai Rp25 triliun.
Kepala BGN Dadan Hindayana mengakui bahwa total anggaran MBG 2026 yang diajukannya tersebut belum disetujui DPR. “Tentunya akan kita bahas terlebih dahulu, kita akan bedah secara mendalam sebelum mengambil keputusan. Ini menjadi salah satu fungsi penganggaran dan pengawasan DPR,” ujarnya.
Pengajuan anggaran sebesar Rp118 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk tahun anggaran 2026 dinilai DPR sebagai bentuk pemborosan apabila sekedar untuk membagikan makanan gratis, tanpa mengatasi masalah-masalah yang menjadi penyebab masyarakat kekurangan gizi.
Pemborosan
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menanggapi usulan tambahan anggaran sebesar Rp 118 triliun yang diajukan BGN untuk pelaksanaan Program MBG tahun 2026 sebagai pemborosan.
“Program ini akan menjadi pemborosan terbesar jika hanya difokuskan pada pengadaan makanan tanpa menyentuh akar masalah yang selama ini menjadi penyebab krisis gizi,” kata Yahya Zaini, Senin (14/7/2025) di Jakarta.
Akar masalah yang menjadi penyebab krisis gizi di Indonesia, imbuh Yahya, diantaranya seperti rendahnya edukasi gizi sejak usia dini, lemahnya akses terhadap pangan sehat dan terjangkau di daerah, serta minimnya literasi nutrisi di sekolah-sekolah.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI, BGN mengajukan tambahan nggaran sebesar Rp118 triliun untuk MBG dalam pagu anggaran 2026. Sebelumnya, Kementerian Keuangan dan Bappenas RI mengajukan angka perkiraan dalam pagu indikatif, terkait kebutuhan anggaran MBG 2026 sebesar Rp217 triliun.
Jika pada akhirnya usulan tambahan anggaran yang diajukan BGN nantinya disetujui DPR, Yahya menilai ada sejumlah hal yang harus menjadi perhatian. Ia memandang, program MBG tidak boleh berhenti sebagai proyek distribusi makanan secara massal.
“Tetapi juga harus menjadi tonggak awal reformasi menyeluruh terhadap sistem gizi nasional yang selama ini rapuh, fragmentaris, dan berorientasi jangka pendek,” papar politisi Partai Golkar ini.
Yahya berpandangan, pendekatan konsumtif yang berbasis volume dan kejar target penerima harus mulai diimbangi dengan strategi transformatif berbasis keberlanjutan. “Program MBG adalah program mulia, namun anggaran yang besar harus diarahkan tidak hanya untuk memberi makan, tetapi untuk mengubah pola konsumsi, memperbaiki rantai pasok pangan lokal, dan memperkuat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang benar dan berimbang,” terang Yahya.
Pimpinan Komisi Kesehatan DPR itu juga menekankan pentingnya integrasi lintas sektor. Menurutnya, program MBG harus terhubung secara sistematis dengan penguatan pertanian lokal berbasis komunitas, agar pasokan bahan makanan tidak bergantung pada distributor besar atau logistik terpusat.
“Perlu pemberdayaan para ibu dan komunitas keluarga dalam menyusun pola konsumsi rumah tangga berbasis gizi. Kemudian, kolaborasi dengan sekolah, puskesmas, dan kader kesehatan sebagai garda terdepan dalam edukasi gizi,” sebutnya.
Selain itu, lanjut Yahya, diperlukan digitalisasi sistem pemantauan status gizi anak, agar program tidak hanya mencatat distribusi namun juga mencatat perubahan konkret pada kondisi gizi penerima.
“Jika anggaran besar hanya disalurkan tanpa disertai reformasi sistemik, maka kita hanya mengulang pola bantuan pangan konvensional yang tidak menyelesaikan persoalan structural. Negara butuh keberanian untuk mengubah pendekatan dari ‘memberi makan’ menjadi ‘mendidik gizi’,” tukasnya.(*)