Pernyataan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa “negara akan runtuh apabila pemimpin meletakkan diri di atas hukum negara” bukan sekadar opini pribadi, tetapi peringatan yang telah terbukti secara historis di banyak negara.
Dalam sistem demokrasi dan negara hukum, pemimpin adalah pelayan konstitusi, bukan pengecualian dari hukum. Ketika kepala negara mulai merasa dirinya kebal hukum, maka awal kehancuran negara sudah dimulai.
Beberapa contoh pemimpin dunia yang mengabaikan hukum negaranya sendiri memberi pelajaran nyata:
- Robert Mugabe (Zimbabwe)
Selama hampir 40 tahun memimpin, Mugabe menjalankan kekuasaan otoriter, memanipulasi konstitusi, dan menggunakan aparat untuk menindas oposisi. Akibatnya, Zimbabwe mengalami krisis ekonomi parah, hiperinflasi, dan runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap negara. - Ferdinand Marcos (Filipina)
Marcos mengumumkan darurat militer pada 1972 dan memerintah di luar kerangka hukum. Ia mengubah konstitusi untuk memperpanjang kekuasaan dan mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Pemerintahannya yang represif berujung pada revolusi rakyat tahun 1986. - Vladimir Putin (Rusia)
Meskipun secara formal memegang jabatan sesuai hukum, Putin telah mengubah undang-undang dasar dan sistem pemilu untuk memperpanjang kekuasaan hingga 2036. Ia juga menggunakan hukum secara selektif untuk memberangus oposisi dan membungkam media independen, menciptakan sistem pemerintahan yang tunduk pada satu orang, bukan hukum. - Donald Trump (Amerika Serikat)
Meski AS memiliki sistem checks and balances yang kuat, masa jabatan Trump memperlihatkan bahaya ketika seorang pemimpin mencoba mengabaikan norma hukum. Upayanya untuk membatalkan hasil pemilu 2020, hingga serangan 6 Januari 2021 ke Capitol Hill oleh pendukungnya, menjadi bukti bagaimana pengabaian hukum oleh seorang presiden bisa mengguncang demokrasi bahkan di negara maju. - Pervez Musharraf (Pakistan)
Jenderal Musharraf mengambil alih kekuasaan melalui kudeta militer dan menggantung konstitusi. Ia kemudian memecat hakim Mahkamah Agung yang menentangnya dan memberlakukan keadaan darurat. Tindakannya menjadi preseden buruk atas subordinasi hukum di bawah kekuasaan militer.
Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa ketika pemimpin meletakkan diri di atas hukum, maka negara tak hanya kehilangan arah, tetapi juga menghadapi krisis legitimasi, ekonomi, hingga konflik sipil. Inilah konteks penting dari peringatan SBY.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung konstitusi harus menjadikan hukum sebagai panglima. Para pemimpin, terutama yang berada di lingkar kekuasaan tertinggi, harus menunjukkan keteladanan dalam menaati hukum—bukan menundukkannya untuk ambisi pribadi atau kelompok. Jika tidak, maka krisis kepercayaan publik hanyalah soal waktu. Dan seperti yang telah terjadi di negara-negara lain, ketika hukum runtuh, negara pun menyusul.
Lalu apa maksud daripada pernyataan SBY tersebut, dan menyindir siapakah? Mungkinkah itu menyindir Presiden Prabowo Subianto yang baru saja memberikan ablosi kepada Tomas Trikasih Lembog dan amnesti untuk politisi PDI Perjuangan Hasto Kristianto? Semoga saja ini hanya sebuah peringatan. Bukan suatu sindiran.(*)