Senin, 7 Jul 2025
  • Feed
  • Like
  • Save
  • Aktivitas
  • Blog
  • Terkini
    • Kriminalitas dan Hukum
    • Politiik
  • Sport
    • Sepak Bola
  • Serba-serbi
  • Opini
🔥 HOT NEWS
Mobil Propam Dipakai Pacaran, Tabrak Lari Hebohkan Medan: Sopirnya Ternyata Remaja 16 Tahun
La Noti Ditelan Piton di Sulawesi, Berikut 5 Kasus Manusia Tewas Ditelan Ular
Beda Tafsir DPR Dengan Putusan MK 135 Soal Pemilu Serentak
Erick Thohir: Liga Indonesia Makin Serius, Perekrutan Eks J-League Jadi Bukti Nyata
Putusan Pemilu Terpisah: Siapa Dukung, Siapa Menolak?
Font ResizerAa
narakita.idnarakita.id
  • Terkini
  • Sport
  • Serba-serbi
  • Opini
Search
  • Terkini
    • Kriminalitas dan Hukum
    • Politiik
  • Sport
    • Sepak Bola
  • Serba-serbi
  • Opini
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Opini

Beda Tafsir DPR Dengan Putusan MK 135 Soal Pemilu Serentak

DALAM sistem demokrasi one men one vote, rakyat adalah subyek. Soal dengan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, rakyat berharap, polemik ini segera diakhiri. Jika tidak diakhiri, publik akan semakin apatis terhadap sistem demokrasi yang ada. Ingat, rakyat bukan obyek penderita.

baniabbasy
Last updated: Juli 7, 2025 3:53 pm
baniabbasy
Juli 7, 2025
Share
9 Min Read
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mestinya menjadi penyemangat dalam perbaikan sistem pemilu di Indonesia. Foto ilustrasi warga memberikan suaranya di bilik suara pada Pemilu 2024. Foto: dok/ist
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mestinya menjadi penyemangat dalam perbaikan sistem pemilu di Indonesia. Foto ilustrasi warga memberikan suaranya di bilik suara pada Pemilu 2024. Foto: dok/ist
SHARE

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada 26 Juni 2025, yang menyatakan bahwa keserentakan pemilu nasional dengan pemilu daerah dipisah, menuai polemik. Komisi III DPR RI mempertanyakan putusan tersebut. Meski belum menyatakan menolak atas putusan, namun wacana menolak pelaksanaan putusan oleh kalangan legislative, cukup santer terdengar.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI yang menghadirkan sejumlah pakar ketatanegaraan dan mantan hakim MK, Jumat (4/7/2025), dengan agenda utama rapat membahas dan mendalami implikasi konstitusinal Putusan MK terkait pemilu, nyaris bersepakat bahwa K melampaui kewenanganya, bahkan melanggar konstitusi.

Tokoh yang dihadirkan dalam RDPU itu ada Patrialis Akbar (mantan hakim konstitusi), eks Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Taufik Basari, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah Abdul Chair Ramadhan, dan Dosen Fisip UI Valina Singka Subekti

Anggota Komisi III DPR RI Martin Daniel menilai, putusan MK tersebut menimbulkan kebingungan dan dilemma konstitusional yang cukup serius di masyarakat. Tidak hanya bagi penyelenggara pemilu, tetapi juga bagi kalangan legislative selaku pembuat kebijakan.

“Sementara ada Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 (soal pelaksanaan Pemilu 5 tahun sekali) yang juga harus kita jalankan. Jadi ada dua putusan yang saya bertanya-tanya tadi. Kalau ini tidak ada tanggapan atau tidak ada putusan yang lanjut, terus apa yang harus kita lakukan?” kata politisi Partai Gerindra tersebut.

Pertanyaannya, apabila DPR selaku Lembaga legislative tidak menjalankan putusan MK karena dinilai melanggar konstitusi, apakah dapat dibenarkan secara hukum dan ketatanegaraan?

Mantan hakim MK Patrialis Akbar menyampaikan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, tetapi tidak berarti kebal dari kritik publik. Ia menegaskan bahwa putusan MK tidak bisa dibatalkan oleh MK itu sendiri.

“Putusan MK itu juga gak bisa dibatalkan oleh MK. Kalau dibatalkan oleh MK berarti kredibilitas hakim MK masa lalu gak dijamin. Itu berbahaya juga. Jadi ini luar biasa dalam tataran ketatanegaraan kita,” tegas Patrialis.

Ia menambahkan bahwa ketika sebuah putusan dipersoalkan oleh masyarakat luas dan juga parlemen, maka muncul pertanyaan besar terhadap validitas dan relevansinya.

“Maka saya berpendapat adalah satu putusan yang memang dipersoalkan oleh masyarakat dan termasuk juga parlemen, berarti ada big question terhadap putusan itu,” lanjutnya.

Patrialis juga menjelaskan bahwa dalam konteks ini terdapat tiga putusan MK terkait Pemilu. Dua di antaranya telah dilaksanakan tanpa masalah dan justru menjadi dasar bagi pemilu-pemilu sebelumnya yang menghasilkan para pemimpin bangsa.

“Nah, dalam masalah ini ada tiga putusan. Sedangkan dua putusan terdahulu tidak ada masalah. Bahkan itu sudah dilakukan. Dan itu sudah menjadi bagian menghasilkan pemimpin-pemimpin negara ini, baik di eksekutif maupun di legislatif. Kita pakai putusan MK yang masa lalu. Pada 2013 itu saya ikut memutuskan pemilu serentak itu,” pungkasnya.

Sementara itu, Valina Singka Subekti menambahkan bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tidak serta-merta membatalkan putusan-putusan MK terdahulu yang masih sah dan berlaku, menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam menafsirkan keberlakuan norma hukum yang telah diformulasikan secara yuridis.

Amar putusan ini membatalkan makna “serentak” yang selama ini menjadi prinsip dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, serta menegaskan bahwa keserentakan menyeluruh tidak lagi dianggap sebagai prinsip konstitusional dalam pelaksanaan pemilu.

Akibat Regresi Demokrasi

Oleh pegiat demokrasi, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 dinilai sebagai putusan yang tepat di tengah situasi demokrasi Indonesia yang mengalami regresi atau pelemahan. Respon legislatif terkait putusan ini juga terlihat berbeda dengan respon atas Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo.

Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi,dan HAM (Pandekha) Fakultas Hukum UGM, Yance Arizoa menilai Putusan MK Nomor 135 sebagai langkah pencegahan atas upaya-upaya pelemahan demokrasi di Indonesia. Apalagi salah satu pertimbangan putusan ini dalam rangka mendorong kehidupan politik yang lebih dinamis.

“Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Pemerintah dan DPR mestinya bergerak cepat, mengakhir polemik. Tantangan terbesar ke depan adalah masa transisi, terutama jika pemilu daerah digeser pada 2031. Maka penting untuk menata lang jadwal, memperjelas penjabat kepala daerah serta opsi masa jabatan DPRD se-Indonesia,” tukas Yance.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini membantah para legislator yang menilai MK inkonstitusional terkait dengan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Dalam pandangannya, pemisahan pemilu nasional dengan pemilu daerah sebagaimana putusan MK No. 135, tidak bertentangan dengan UUD 1945 khusunya Pasal 22E ayat (1) yang mengatur pemilu lima tahunan secara regular.

Dalam kontek Putusan MK Nomor 135, penyelenggaraan pemilu tetap dalam agenda lima tahunan, baik pemilu nasional maupun pemilu daerah. Yang berubah dari putusan ini hanya pada keserentakan pemilu saja.

“Ketika keserentakan pemilu belum berjalan sesuai dengan desain keserentakan yang konstitusional, maka kita sedang berada pada masa transisi yang harus diikuti penataan dan penyesuaian agar jadwal pemilu setiap lima tahun sekali berjalan compatible dengan model keserentakan yang konstitusional,” kata Titi.

Putusan MK 135 sebetulnya lebih untuk menata ulang keserentakan pemilu agar lebih konstitusional. Sehingga keliru jika putusan tersebut benturkan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Prinsip pemilu sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) adalah, pemilu diselenggarakan lima tahun sekali secara konsisten. Pun putusan MK 135 secara prinsip juga mengatur bahwa pemilu diselenggarakan lima tahun sekali.

Perbedaannya pada waktu penyelenggaran antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Yang menjadi pembeda hanya pada pemilu daerah yang harus dipisah setelah penyelenggaraan pemilu nasional. Toh pada akhirnya, penyelenggaraan pemilu tetap lima tahun sekali sebagaimana UUD 1945 Pasal 22E ayat (1). Dimana pemilu nasional secara serentak diselenggarakan pada 2029, dan pemilu daerah serentak dimulai pada 2031. Keduanya akan diselenggarakan secara konsisten lima tahun sekali.

Yang perlu diatur menuju keserentakan pemilu nasional 2029 dan keserentakan pemilu daerah 2031, justeru pada masa transisi jabatan kepala daerah dan DPRD se-Indonesia pada masa 2029-2031. DPR dan Pemerintah harus segera mengatur mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan DPRD se-Indonesia hasil pemilu 2024 yang masa jabatannya berakhir di 2029 untuk DPRD dan 2030 untuk kepala daerah.

Masa transisi dalam sejarah sistem pemilu di Indonesia, tidak hanya terjadi pada 2029-2031 mendatang. Pemilu 1977, juga digelar enam tahun setelah Pemilu 1971. Lalu pada Pemilu 1999, diselenggarakan secara cepat setelah Pemilu 1997. Jika bicara siklus lima tahunan, semestinya pemilu baru diadakan tahun 2002. Namun pemilu 2002 terpaksa dipercepat di tahun 1999 karena dinamika reformasi.

Pemerintah sendiri mulai membentuk tim kajian lintas kementerian guna merevisi Undang-Undang Pemilu, sekaligus sebagai tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menegaskan bahwa pemerintah sangat serius mengkaji secara menyeluruh terhadap putusan MK tersebut dengan menerima masukan dan informasi, aspirasi dari semua kalangan.

Ia tidak menampik akan urgensi keberadaan undang-undang kepemilluan yang ajeg dan berkelanjutan agar tidak berubah setiap kali pemilu digelar.

Rakyat berharap, polemik ini segera diakhiri. Sebab jika tidak segera diakhiri, publik akan semakin apatis terhadap sistem demokrasi yang ada. Akibatnya, mereka akan cenderung apolitis dalam setiap perhelatan demokrasi yang ada. Toh secara konstitusi, putusan MK tidak melanggar konstitusi itu sendiri. Dan yang terpenting, bagaimana penataan pemilu ke depan lebih mengedepankan partisipasi public. Publik sebagai subyek, bukan obyek penderita.(*)

TAGGED:Pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahPolemik putusan MK 135 2024Putusan mK no. 135/PUU-XXII/2024 ancam partai kecil
Share This Article
Email Copy Link Print

T R E N D I N G

Mobil Propam Dipakai Pacaran, Tabrak Lari Hebohkan Medan: Sopirnya Ternyata Remaja 16 Tahun
Juli 7, 2025
La Noti Ditelan Piton di Sulawesi, Berikut 5 Kasus Manusia Tewas Ditelan Ular
Juli 7, 2025
Beda Tafsir DPR Dengan Putusan MK 135 Soal Pemilu Serentak
Juli 7, 2025
Erick Thohir: Liga Indonesia Makin Serius, Perekrutan Eks J-League Jadi Bukti Nyata
Juli 7, 2025
Putusan Pemilu Terpisah: Siapa Dukung, Siapa Menolak?
Juli 7, 2025

Berita Terkait

Ilustrasi penjahat pelaku tindak pidana atau kriminal, yang berada di dalam penjara.
Opini

Saat Negara Berpihak pada Kejahatan Intoleransi, Korban Berlindung kepada Siapa?

R. Izra
SK pengesahan perpanjangan kepengurusan DPP PDI Perjuangan kembali digugat oleh kadaernya.
OpiniPolitiik

SK Kepengurusan Megawati Soekarno Putri Kembali Digugat

baniabbasy
MA memperberat hukuman suami aktris Sandra Dewi dengan hukuman 20 tahun penjara.
Kriminalitas dan HukumOpini

MA Perberat Hukuman Suami Artis Sandra Dewi. Bagaimana Nasib Koruptor Lainnya?

baniabbasy
Mahkamah Konstitusi (MK) RI membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada Kamis 26 Juni 2025
OpiniPolitiik

Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Bikin DPR Meradang

baniabbasy
  • Home
  • Kantor dan Redaksi
  • Kebijakan Privasi
  • Syarat Penggunaan (Term of Use)
narakita.id
Facebook Twitter Youtube Rss Medium

Narakita merupakan media kolaboratif dengan tagline “New Hope for Everyone” yang membuka ruang untuk semua ide, semua koneksi dan semua masa depan.

Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?