KONSUMSI konten pornografi secara berlebihan ternyata bukan hanya berdampak pada perilaku, tetapi juga memengaruhi kerja otak manusia secara langsung. Sebuah studi ilmiah terbaru menunjukkan bahwa kebiasaan ini bisa mengubah konektivitas otak dan menurunkan kemampuan kognitif seseorang.
Penelitian tersebut dilakukan menggunakan teknologi neuroimaging non-invasif yang mampu memantau aktivitas otak saat seseorang melakukan tugas atau menonton video. Hasilnya menunjukkan bahwa paparan pornografi berat menyebabkan perubahan signifikan pada area otak yang berfungsi untuk pengambilan keputusan dan regulasi emosi.
Dalam studi ini, sejumlah partisipan diuji dengan membandingkan respon otak sebelum dan sesudah menonton video dewasa selama 10 menit. Mereka kemudian diminta menyelesaikan tes kognitif yang mengukur kemampuan fokus dan kontrol mental.
Hasil menunjukkan bahwa peserta yang memiliki kebiasaan konsumsi pornografi secara intens mengalami penurunan akurasi dan kecepatan dalam mengerjakan tugas setelah menonton video tersebut. Kondisi ini berbeda dengan kelompok yang hanya sesekali mengakses konten serupa.
Temuan ini memberi indikasi bahwa paparan pornografi secara terus-menerus dapat merusak fungsi eksekutif otak, termasuk kemampuan untuk mengendalikan dorongan dan mengelola emosi dengan baik.
Lebih lanjut, pola aktivitas otak pengguna berat menunjukkan kesamaan dengan mereka yang mengalami kecanduan narkoba atau gangguan mental tertentu. Area prefrontal otak menunjukkan konektivitas yang tak biasa, mirip dengan kondisi pada individu dengan gangguan obsesif-kompulsif atau kecanduan zat.
Selain dampak kognitif, studi ini juga menyoroti respons emosional dan fisiologis yang berbeda antara pengguna berat dan pengguna ringan. Misalnya, pengguna berat menunjukkan variasi ekspresi wajah yang lebih sempit, serta reaksi tubuh yang kurang adaptif saat terpapar rangsangan seksual.
Detak jantung para pengguna berat juga mengalami peningkatan variasi, sementara sistem saraf parasimpatis—yang biasanya aktif saat tubuh dalam kondisi rileks—juga lebih dominan. Ini mengindikasikan kemungkinan efek euforia semu yang serupa dengan respons pengguna opioid.
Dari sisi psikologis, pengguna berat cenderung menunjukkan penurunan kesadaran terhadap stimulus sekitar dan lebih mudah terdistraksi. Hal ini bisa berdampak pada kehidupan sosial, akademik, bahkan pekerjaan.
Para ahli menyebut bahwa kebiasaan konsumsi pornografi dapat memberikan rangsangan berlebih pada pusat kenikmatan di otak, yang akhirnya mengganggu keseimbangan emosi dan pengambilan keputusan sehari-hari.
Meski terapi psikologis masih menjadi pendekatan utama untuk mengatasi masalah ini, hasil riset juga membuka kemungkinan pengobatan yang mirip dengan pendekatan terhadap kecanduan narkoba.
Beberapa metode yang sedang dikembangkan antara lain terapi perilaku kognitif, penggunaan obat tertentu untuk menstabilkan impuls, dan terapi hormonal pada kasus khusus.
Namun demikian, studi ini juga menyebutkan adanya keterbatasan seperti jumlah partisipan yang kecil dan kesulitan menemukan responden dengan tingkat kecanduan yang sangat tinggi, yang menjadi kendala dalam memperluas cakupan penelitian.
Walau begitu, temuan ini menjadi pengingat penting bahwa konsumsi pornografi bukan sekadar kebiasaan privat, tetapi bisa membawa dampak serius terhadap cara otak bekerja dan bagaimana seseorang menjalani kehidupannya secara mental dan emosional. (*)