NARAKITA, JAKARTA – Kementerian Pertanian menemukan 212 produsen beras premium ‘oplosan‘ di Indonesia. Kerugian yang diderita masyarakat akibat praktik kecurangan itu ditaksir mencapai Rp99,35 triliun setiap tahun. Jika dibiarkan bisa mencapai Rp500 triliun hingga Rp1.000 triliun dalam lima hingga sepuluh tahun.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, modus pelanggaran 212 produsen beras tersebut, diantaranya ketidaksesuaian berat kemasan. “Dimana tertulis di kemasan 5 kilogram (Kg), tetapi isinya hanya 4,5 Kg. Kemudian pemalsuan kategori kualitas beras. Beras medium disebutkan beras premium. Atau kualitas beras tidak sesuai,” ujarnya.
Mentan Amran mengatakan bahwa seluruh temuan pelanggaran beras premium oplosan itu sudah dilaporkan an diserahkan ke Kapolri, Satgas Pangan dan Jaksa Agung. Tujuannya agar segera diproses dan masyarakat petani di Indonesia tidak terus-terusan dirugikan.
Ia berharap, proses hukum terhadap pelanggaran itu berjalan cepat dan tegas demi memberi efek jera kepada produsen beras nakal yang bermain di sektor pangan pokok nasional.
Informasinya, kata Amran, per 10 Juli 2025, aparat kepolisian sudah memproses pemeriksaan para produsen nakal yang dialporkan tersebut. Pihak Kementan akan terus memantau perkembangan agar penyimpangan itu tidak berulang di masa mendatang.
“Praktik semacam itu sama dengan menipu rakyat. Ada yang 86 persen mengatakan ini premium padahal beras biasa. Kemudian mengatakan medium padahal beras biasa. Artinya apa? 1 kilo bisa selisih Rp2.000 sampai Rp3.000 per kilogram. Kita mencontohkan emas, tertulis emas 24 karat, tetapi sesungguhnya itu 18 karat,” ujar dia.
Bersihkan Mafia Pangan
Menanggapi temuan itu, Anggota Komisi IV DPR RI Cindy Monica berharap agar aparat penegak hukum serius dalam menangani laporan tersebut. Menurutnya, kasus beras oplosan ini menjadi momentum bersih-bersih dari mafia pangan.
“Urusan perut rakyat jangan dibuat bancakan. Kita harus bersihkan mafia pangan dari hulu ke hilir. Tidak boleh ada kkompromi untuk pelaku yang sengaja merugikan negara, dan menipu rakyat dengan produk beras yang tidak layak konsumsi,” kata Cindy, Senin (14/7/2025).
Ditegaskannya, persoalan pangan adalah persoalan hidup rakyat. Sehingga kalua beras saja dipermainkan, maka nyawa dan kesejahteraan rakyat pun dipertaruhkan.
Cindy berharap, aparat penegak hukum segera melakukan langkah kongrit agar kepercayaan public terhadap istem distribusi pangan tidak runtuh. Saatnya negara hadir dengan tegas dan melindungi petani, melindungi rakyat. jangan sampai yang kecil makin ditekan, sementara yang bermain di balik layer justeru kebal hukum.
Produsen Besar
Sementara itu, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri mengaku telah memeriksa empat produsen besar beras berdasarkan data laporan dari Kementan. Empat produsen tersebut diakui sebagai produsen beras besar di Indonesia.
Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Helfi Assegaf mengatakan, empat produsen yang sudah diperiksa yaitu Wilmar Group (produsen Sania, Sovia, dan Fortune), kemudian Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ), lalu Belitung Panen Raya (BPR) dan Sentosa Utama Lestari atau Japfa Group.
Dijelaskan Helfi, Wilmar Group diperiksa dengan cara mengumpulkan produk-produk berasnya yang sudah tersebar di berbagai wilayah. Seperti Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Jabodetabek.
Sementara PT FSTJ, diperiksa atas produk beras merek Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos. Sampelnya dikumpulkan dari Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat.
Untuk beras produksi PT Belitung Panen Raya yang diperiksa kepolisian, yakni beras merek Raja Platinum dan Raja Ultima. Sampel beras diambil dari Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Aceh dan Jabodetabek.
“Sementara PT Sentoso Utama Lestari atau Japfa Group, dipersika terkait beras produksinya merk Ayana. Tiga sampel yang menjadi bahan periksan diambil dari Yogyakarta dan Jabodetabek. Soal hasil pemeriksaan, nanti dilaporkan lagi. Sabar,” kata Brigjen Helfi.(*)