DI BALIK lantunan azan dan debu lantai masjid yang saban hari dibersihkan sang ayah, Elsa Yuliana menanam impiannya dalam-dalam: kuliah di perguruan tinggi terbaik di Indonesia, Universitas Gadjah Mada.
Meski berasal dari keluarga sederhana, semangat belajar Elsa tidak pernah padam. Kini, impian itu telah digenggamnya.
Elsa, remaja 18 tahun asal Sentolo, Kulon Progo, Yogyakarta, berhasil menembus UGM tanpa tes melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Ia diterima di Program Studi Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi. Tak hanya itu, ia juga mendapat subsidi Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar 75 persen—membuat beban keuangan keluarganya jauh lebih ringan.
Elsa adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sudiyana, sehari-hari menjadi marbot masjid dan juga buruh serabutan. Penghasilan yang tak menentu membuat Elsa sejak awal sadar bahwa perjuangan menembus bangku kuliah harus dimulai dari kerja keras, bukan kemewahan.
“Orang tua saya tidak bisa membiayai les, jadi saya belajar mandiri,” ungkap Elsa dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di rumahnya, dikutip ugm.ac.id Kamis (12/6). Sejak duduk di bangku kelas 10 SMA, ia mantap membidik jalur SNBP sebagai tumpuan harapannya.
Selama bersekolah di SMA Negeri 1 Wates, Elsa tak hanya unggul secara akademis. Ia aktif di kegiatan Pramuka dan kerap mengikuti lomba hingga tingkat kabupaten. Berbagai prestasi itulah yang mendukungnya diterima di UGM tanpa melalui tes tertulis.
Parjiyah, sang ibu, mengenang bagaimana anaknya begitu gigih. “Elsa itu kalau punya keinginan selalu diiringi usaha. Dari awal sudah ngomong ingin kuliah di UGM. Kami dukung sebisanya,” tutur Parjiyah sambil menahan haru.
Kabar kelolosan Elsa disambut bahagia seisi rumah. Namun di balik senyum mereka, terselip kekhawatiran soal biaya. Maklum, penghasilan ayah Elsa tak tetap. Tetapi takdir baik seolah menjawab doa mereka—subsidi UKT sebesar 75 persen menjadi jawaban dari langit.
“Senang, tapi ya sempat kepikiran. Kalau cuma lulus, oke. Tapi kuliahnya gimana? Syukurlah dapat subsidi UKT dari UGM,” ujar Sudiyana, sang ayah, yang tetap membersihkan masjid tiap hari meski di tengah perasaan campur aduk.
Sebagai anak marbot, Elsa tak pernah merasa malu. Bahkan, ia kerap membantu ayahnya membersihkan masjid saat libur sekolah atau akhir pekan. “Bapak capek, saya bantu. Saya nggak malu. Justru itu motivasi saya,” ucapnya.
Baginya, kampus bukan sekadar tempat belajar, tapi jembatan untuk mengangkat derajat keluarga. Ia bertekad untuk lulus tepat waktu dan segera bekerja agar bisa membiayai adik bungsunya yang masih duduk di bangku SD.
“Adik saya juga ingin saya sekolahkan nanti. Jadi saya harus bisa. Biar keadaan keluarga kami berubah,” tegas Elsa.
Di UGM nanti, Elsa membawa tekad besar. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan. Dengan hati penuh syukur, ia berharap bisa menjadi contoh bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.
Kisah Elsa menjadi pengingat bahwa pendidikan bisa ditembus bukan hanya oleh mereka yang punya harta, tapi juga oleh mereka yang punya tekad dan keyakinan.
“Untuk teman-teman yang sedang berjuang juga, jangan menyerah hanya karena soal ekonomi. Kalau kita yakin dan terus berusaha, insya Allah ada jalannya,” pungkas Elsa. (*)