NARAKITA, RAJA AMPAT – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, tidak menunjukkan tanda-tanda pelanggaran serius. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Tri Winarno, seusai mendampingi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam kunjungan kerja ke wilayah tersebut.
“Dari pemantauan udara yang kami lakukan, tidak terlihat indikasi sedimentasi di pesisir. Secara umum, kegiatan tambang di sini tidak menimbulkan masalah,” ujar Tri dalam keterangan tertulis pada Sabtu (7/6), yang dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM.
Meski demikian, pihaknya tetap menurunkan tim Inspektur Tambang untuk menginspeksi sejumlah titik di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Raja Ampat. Evaluasi menyeluruh akan tetap dilakukan guna memastikan kegiatan pertambangan berjalan sesuai aturan.
“Reklamasi tambang sejauh ini tampak baik. Namun laporan akhir akan kami tunggu dari Inspektur Tambang. Hasil evaluasi tersebut nanti akan menjadi dasar kami menentukan langkah selanjutnya,” tegas Tri.
Sementara itu, pihak perusahaan yang mengelola tambang di Pulau Gag juga buka suara. Direktur Pengembangan Usaha PT Aneka Tambang (Antam), I Dewa Wirantaya, menegaskan bahwa anak usaha mereka, PT GAG Nikel, sudah menjalankan prinsip pertambangan yang bertanggung jawab.
“Kegiatan kami di sini sudah sesuai dengan prinsip good mining practice. Kami mematuhi ketentuan teknis dan lingkungan, termasuk reklamasi serta pengendalian limpasan air tambang. Kami berharap keberadaan PT GAG Nikel membawa manfaat, tidak hanya sebagai pelaku bisnis, tetapi juga sebagai bagian dari pembangunan daerah,” tutur Wirantaya.
Namun, pernyataan itu kontras dengan kekhawatiran yang disuarakan pemerintah daerah. Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, menilai kehadiran tambang justru membawa dampak ekologis yang memprihatinkan.
“Raja Ampat adalah kawasan konservasi. Sekitar 97 persen wilayah kami berstatus lindung. Tapi sekarang, kami menghadapi ancaman pencemaran akibat aktivitas tambang,” kata Orideko dalam pernyataan di Sorong, Sabtu (31/5).
Ia mengaku pemerintah daerah tidak bisa bertindak tegas terhadap tambang karena kewenangan perizinan sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Kondisi ini membuat mereka kesulitan melindungi lingkungan daerahnya.
“Ketika terjadi pencemaran, kami hanya bisa menyaksikan. Kewenangan untuk mencabut izin bukan ada di tangan kami,” tambahnya dengan nada kecewa.
Kontroversi tambang nikel di Raja Ampat mencuat seiring meningkatnya sorotan terhadap praktik tambang di wilayah yang dikenal sebagai surga biodiversitas dunia. Meski pemerintah pusat menyatakan tidak ada pelanggaran berarti, kekhawatiran masyarakat dan pemerintah daerah terus membayangi.
Sebagai catatan, izin tambang di wilayah ini sudah terbit sejak 2017. Menteri ESDM saat ini, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa ia belum menjabat pada saat izin tersebut dikeluarkan.
Ketegangan antara klaim pemerintah pusat dan keluhan pemerintah daerah menambah kompleksitas persoalan tambang di wilayah konservasi ini. Masyarakat lokal berharap agar kegiatan tambang tidak mengorbankan kelestarian lingkungan yang selama ini menjadi identitas Raja Ampat di mata dunia.
Langkah lanjutan kini bergantung pada laporan evaluasi dari tim Inspektur Tambang. Pemerhati lingkungan dan warga lokal pun menanti keputusan pemerintah pusat—apakah akan memperketat pengawasan, mengubah kebijakan, atau tetap membiarkan tambang beroperasi seperti biasa. (*)