HAWA sejuk khas kaki Gunung Slamet pagi itu mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar kabut. Sabtu (5/7/2025), Desa Serang, Kecamatan Karangreja, menjadi panggung budaya yang memadukan sakralitas, rasa, dan harapan dalam Festival Gunung Slamet (FGS) ke-8. Warga dan wisatawan berkumpul, tak hanya untuk menyaksikan, tapi ikut larut dalam kisah yang diwariskan oleh alam dan leluhur.
Festival dimulai dengan arak-arakan air dari Tuk Sikopyah, mata air legendaris yang dipercaya membawa berkah. Ratusan warga mengenakan pakaian adat Banyumasan berjalan sejauh tiga kilometer, masing-masing membawa kendi dan lodong bambu. Mereka tidak sekadar menapak tanah, tapi mengalirkan energi spiritual menuju pusat acara di kawasan wisata DLAs Serang.
Air sakral itu kemudian dituang satu per satu ke wadah khusus. Prosesi ini dipimpin oleh Bupati Purbalingga, Fahmi Muhammad Hanif, bersama Wakil Bupati Dimas Prasetyahani. Tamu undangan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun turut berpartisipasi. Momen itu juga diabadikan wisatawan asing yang tampak kagum menyaksikan kekayaan budaya lokal.
Puncak spiritualitas digambarkan lewat pentas wayang kulit ruwatan oleh Ki Dalang Sutama. Dalam lakon singkatnya, ia menyingkirkan energi negatif yang mengancam mata air dengan kisah jin serakah yang mencoba menguasai sumber kehidupan. Lakon itu tak hanya simbolis, tetapi menyentuh sisi batin penonton yang mendambakan kelestarian.
Begitu usai prosesi, suasana menjadi lebih cair. Warga mulai menyerbu gunungan hasil bumi sebagai simbol panen dan keberkahan. Namun, yang paling ditunggu tentu saja pembagian Nasi 3G—Gereh, Gundil, dan Gandul. Tiga lauk sederhana yang diracik bersama nasi jagung, dibungkus dalam besek dan daun nyangku, menciptakan rasa yang tak hanya menggugah lidah, tapi juga kenangan kolektif.
“Nasi 3G ini khas kita, khas Gunung Slamet. Tahun ini kita bagikan 8.888 bungkus, semoga bisa tercatat dalam rekor MURI dan dunia,” ujar Bupati Fahmi. Jumlah itu tak dipilih sembarangan—angka 8 adalah simbol kemakmuran, dan sejalan dengan FGS edisi kedelapan.
Kawasan DLAs Serang pun disulap menjadi pusat kegembiraan. Stand UMKM ramai diserbu pengunjung. Ada kerajinan bambu, olahan pangan lokal, hingga kopi khas dataran tinggi. Para pelaku usaha kecil tampak semringah, menjajakan produk sambil bercerita tentang asal usulnya.
Sore menjelang malam, cahaya lampion menghiasi langit. Denting musik tradisional mengalun, disusul penampilan modern dari penyanyi Ghea Indrawari. Lagu-lagunya menggema di antara pepohonan pinus, menambah nuansa romantis yang membalut keagungan Gunung Slamet.
Tak hanya sebuah panggung hiburan, Festival Gunung Slamet menjadi ruang pelestarian nilai. Reza Fahlevi dari Kemenparekraf menyebutnya sebagai “etalase budaya yang hidup”. FGS bahkan kembali masuk dalam daftar Kharisma Event Nusantara (KEN) 2025, pengakuan nasional yang tak datang dengan mudah.
“Ini bukan sekadar festival. Ini ruang kreasi, edukasi, pelestarian budaya, dan sekaligus penggerak UMKM. Kami akan terus mendukung agar FGS naik kelas,” kata Reza. Ia menilai perpaduan antara nilai tradisional dan daya tarik wisata membuat FGS layak menjadi ikon nasional, bahkan internasional.
Di tengah gegap gempita, Bupati Fahmi menyampaikan harapannya agar FGS terus berkembang menjadi festival yang unik dan relevan. “Kita ingin event ini bukan hanya rutin, tapi terus menciptakan hal baru yang membanggakan daerah,” ujarnya.
Dan memang, Festival Gunung Slamet bukan hanya soal seremoni. Ia adalah narasi tentang alam yang bersahabat, masyarakat yang bersatu, dan warisan budaya yang terus bergema. Setiap langkah di lereng Slamet hari itu adalah jejak yang menyatu antara tanah, air, dan rasa.
Ketika semua usai dan kabut malam turun perlahan, satu pesan tertinggal di hati mereka yang hadir: bahwa budaya bukan sekadar dirayakan, tapi dirawat. Dan di kaki Gunung Slamet, kisah itu masih ditulis—dengan air suci, nasi jagung, dan semangat tak pernah padam. (*)