NARAKITA, SEMARANG – Muh Syafi merasakan banyak perubahan yang terjadi di pesisir Semarang. Kondisi itu memaksa ia dan warga lain di kampungnya beradaptasi mencari penghidupan agar bisa bertahan.
Syafi merupakan warga kampung Tambakrejo, Kota Semarang. Dia mengamati, sejak tahun 2000, Semarang mulai kehilangan pesisir. Tambak dan bakau juga berkurang drastis.
“Tambak yang dulu bisa dikelola untuk membudidaya bandeng dan udang, sudah tidak ada,” kata Syafi, Sabtu (19/7/2025).
Masih terekam di ingatannya saat hasil laut masih melimpah. Kepiting, udang, rajungan gampang ia dapat. Bahkan, walau tidak pakai perahu pun sehari bisa dapat 50 kepiting.
“Sekarang hasil alam menurun,” keluh Syafi yang berharap keadaan bisa disetel ulang seperti dulu.
Muslimah, Warga Tambakrejo lainnya, mengamini pernyataan Syafi. Dulu gampang mencari hasil pangan. Tanpa perahu bisa mendapat kepiting. Sekarang boro-boro, pakai perahu juga susah dapat hasil tangkapan.
Bahkan, katanya ikan jenis belanak mudah didapat di sungai. Tapi sejak ada pelebaran sungai Banjir Kanal, habitat biotanya menjadi rusak, dampaknya ikan tidak ada lagi.
Menurut Muslimah, warga di kampungnya beradaptasi dengan mencari sumber penghasilan lain untuk bisa bertahan hidup.
“Beralih profesi, dari pembersih kerang jadi penjual warung. Juga ada yang ikut proyek,” tuturnya.
Warga Tambakrejo juga beradaptasi dengan masalah rob dan abrasi. Tambak ikan dan udang memang sudah tertelan air laut, tetapi mereka mencari cara baru untuk mencari penghasilan dengan membuat rumpon kerang.
Rob Persulit Hidup Warga
Berjarak 20 kilometer dari kediaman Syafi dan Muslimah, ada Sunarti yang mengeluhkan hal serupa. Sunarti, warga Kampung Timbulsloko, Kabupaten Demak ini merasakan perubahan keadaan lingkungannya.
“Dulu tanaman subur hijau, sawah gemah ripah. Namun semenjak ada rob, tanaman jadi hilang, dan hidup sulit karena airnya selalu naik,” ceritanya saat berada di Semarang, Sabtu (19/7/2025).
Perempuan itu menuturkan, saat ini nelayan di kampunya banyak yang mencari udang. Jika dibandingkan, dulu per harj bisa mendapat 7–10 kilogram, tetapi sekarang hanya berkisar 1–2 kilogram.
Ridho, tetangga Sunarti, mengenang masa-masa saat kampung hijaunya masih berjarak cukup jauh dengan garis pantai. Masa di mana tambak-tambaknya bisa dibudidaya, mangrove yang rimbun juga menebar manfaat.
“Sekarang berubah dengan kehilangan tambak dan laut semakin dekat,” ujar Ridho yang tinggal berdampingan dengan rob, saat berada di Semarang, Sabtu (19/7/2025).
Akses menuju Kampung Timbulskolo sulit dijangkau. Jalan yang menapak dengan tanah terendam air laut. Tanpa dibangun jembatan, kampung ini tak bisa dijangkau.
Warga merasakan kenyataan pahit. Mereka di hadapkan pada pilihan sulit: meninggalkan kampung halaman tapi kelimpungan cari tempat baru atau tetap tinggal dengan kondisi serba sulit.
Kata Ridho, warga yang memilih menetap di Kampung Timbulsloko maka harus beradaptasi. “Warga gotong royong, selalu meninggikan rumah rutin,” ucapnya.(bae)