BELAKANGAN marak fenomena pemasangan bendera bergambar tengkorak bertopi ala One Piece di sejumlah daerah di Indonesia. Mulai dari pinggiran kota hingga pelosok desa, bendera yang identik dengan lambang bajak laut Straw Hat—tokoh utama dalam serial anime Jepang One Piece—dikibarkan oleh warga biasa.
Sekilas ini tampak seperti ekspresi penggemar budaya pop semata. Namun, jika diamati lebih dalam, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari gelombang keresahan sosial masyarakat terhadap situasi ketimpangan, ketidakadilan hukum, dan maraknya budaya korupsi yang telah begitu lama mencengkeram negeri ini.
Bendera tengkorak bertopi jerami bukan sekadar hiasan. Ia telah menjelma menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap dominasi dan arogansi kekuasaan. Monkey D. Luffy, tokoh utama One Piece, digambarkan sebagai sosok idealis, pemimpin bajak laut yang menentang tirani, membela yang lemah, dan tidak tunduk pada sistem yang korup.
Nilai-nilai inilah yang tanpa sadar menggugah sebagian rakyat Indonesia—terutama yang selama ini merasa terpinggirkan dan tak didengar oleh negara—untuk mengibarkan simbol tersebut sebagai bentuk ekspresi batin: perlawanan diam terhadap realitas sosial yang makin timpang.
Ironisnya, respon pemerintah terhadap maraknya pengibaran bendera ini justru menunjukkan betapa negara masih alergi terhadap simbol-simbol perlawanan, meski dalam bentuk budaya populer.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Seorang warga didatangi aparat gabungan dari TNI, polisi, ASN, hingga perangkat desa hanya karena memasang bendera One Piece di atap rumahnya. Pendekatan represif semacam ini semakin memperkuat kesan bahwa negara lebih takut pada simbol ketidakpuasan rakyat ketimbang memperbaiki akar persoalan yang menimbulkan keresahan itu sendiri.
Fenomena ini juga menjadi cermin bahwa masyarakat haus akan simbol yang mewakili keberanian melawan sistem yang timpang. Ketika hukum terasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ketika pelaku korupsi kelas kakap hanya ditahan sebentar lalu bebas, sementara pencuri ayam dihukum berat, maka rakyat pun mencari cara untuk menyuarakan ketidakadilan itu. Bendera bajak laut Straw Hat bukan karena ingin mengglorifikasi kejahatan, melainkan karena karakter-karakter dalam One Piece sering kali lebih adil, jujur, dan berani ketimbang pemimpin fiktif maupun nyata dalam sistem pemerintahan kita.
Pemerintah seharusnya tidak fokus pada pelarangan simbol. Yang lebih penting adalah memahami pesan sosial di baliknya: ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi negeri ini. Ketika bendera Luffy berkibar, bukan karena rakyat ingin jadi bajak laut, tapi karena mereka merasa ditinggalkan oleh pemimpinnya, dan sedang mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.
“Bendera itu adalah isyarat: negeri ini sedang tidak baik-baik saja.”
Pemerintah Mulai Panik
Perlu dipahami, bendera bajak laut dalam konteks ini bukanlah lambang kejahatan atau tindakan makar. Ia adalah simbol dari perlawanan terhadap sistem yang timpang, ketidakadilan hukum, dan korupsi yang merajalela.
Tokoh utama One Piece, Monkey D. Luffy, adalah pemuda idealis yang menolak tunduk pada sistem yang korup, memperjuangkan kebebasan, dan berdiri di pihak yang tertindas. Tak heran bila simbol ini kemudian diadopsi secara simbolik oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk kritik diam terhadap realitas Indonesia hari ini.
Menanggapi hal ini, Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan bahwa pelarangan pemasangan bendera One Piece oleh pemerintah ‘bukanlah sebagai bentuk pelanggaran HAM’. Pernyataan ini, meskipun sah secara administratif, patut dipertanyakan secara substansial.
Memang benar bahwa negara punya hak mengatur simbol-simbol di ruang publik, tapi ketika tindakan tersebut digunakan untuk meredam ekspresi kritik sosial tanpa kekerasan, tidakkah itu justru bertentangan dengan semangat hak asasi itu sendiri?
Memang, secara normatif, negara memiliki wewenang untuk mengatur simbol-simbol yang digunakan di ruang publik. Namun jika ekspresi masyarakat tersebut tidak mengandung kekerasan, tidak bermuatan separatisme, dan hanya sebatas bentuk sindiran atau protes sosial yang damai, maka pelarangan semacam itu justru bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi, nilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi.
Di negara demokratis, ekspresi budaya pop sering menjadi medium aman untuk menyampaikan keresahan politik dan sosial. Ketika suara rakyat tak terdengar lewat jalur formal, maka budaya populer menjadi ruang alternatif untuk berbicara. Bendera One Piece bukan simbol kekacauan, tapi simbol bahwa rakyat sedang berbicara lewat bahasa yang bisa mereka akses—bahasa simbol, bahasa perlawanan yang tidak membakar ban atau menyerang kantor pemerintahan, tapi cukup dengan mengibarkan sehelai kain.
Yang lebih menyedihkan, pemerintah terlihat lebih sigap menindak pemasangan bendera fiksi dibanding menindak nyata para koruptor, mafia tambang, atau penyalahguna kekuasaan yang merugikan negara miliaran rupiah. Ketika simbol kritik dibungkam, sementara simbol penindasan dibiarkan bebas, maka negara sedang kehilangan arah dan kepekaan sosialnya.
Jika pemerintah bijak, mereka seharusnya tidak melarang bendera itu. Sebaliknya, mereka perlu bertanya: mengapa rakyat lebih percaya pada simbol bajak laut fiksi ketimbang pada simbol negara? Mengapa Luffy menjadi panutan moral di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pemimpin?
Pengibaran bendera One Piece harus dibaca sebagai tanda zaman. Ini adalah ekspresi keresahan yang muncul dari generasi yang jenuh dengan retorika kosong, muak melihat hukum yang berat ke bawah ringan ke atas, dan ingin keadilan dengan cara damai. Melarang bendera ini bukan hanya tindakan berlebihan, tetapi juga menandakan bahwa negara semakin jauh dari rakyatnya.
Jika dibiarkan, pembungkaman semacam ini hanya akan memperluas jurang ketidakpercayaan. Dan jangan heran bila suatu hari, rakyat tak lagi mengibarkan bendera anime, tetapi menyiapkan bentuk perlawanan yang lebih nyata. Karena setiap simbol yang dibungkam hanya akan melahirkan protes yang lebih besar.(*)