KETUA Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin lagi-lagi membuat wacana yang kontroversial. Soal jabatan kepala daerah, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati walikota-wakil walikota dipilih oleh Presiden.
Cak Imin menyampaikan wacana tersebut usai acara perayaan ulang tahun PKB di JCC Senayan Jakarta, Rabu (23/72025). Ia mengatakan, bahwa wacana pemilihan atau penunjukan kepala daerah itu berdasarkan usulan-usulan dalam pertemuan NU di beberapa kali munas, agar PKB mengkaji ulang pemilihan kepala daerah secara langsung.
Kesimpulannya menurut Cak Imin, untuk menjadi kepala daerah, menghabiskan biaya mahal yang kadang-kadang sangat tidak rasional. Selain itu, pemerintah daerah ujung-ujungnya juga tergantung kepada pemerintah pusat dalam seluruh aspek. Daerah sampai saat ini belum bisa mandiri apalagi otonom.
Dua pola yang bisa dijadikan opsi pemilihan pun diungkapkannya. Pola pertama, gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat, dipilih atau ditunjuk oleh pemerintah pusat atau presiden. Sementara pola kedua, bupati dan atau walikota, dipilih oleh DPRD karena posisinya bukan perwakilan pemerintah pusat.
Usulan Cak Imin ini pun langsung bikin gaduh politik di parlemen. Sebagian menilai, usulan pemilihan gubernur oleh presiden dinilai sebagai bentuk upaya menyalahi konstitusi. Sebab secara jelas, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa kepala daerah, yakni gubernur, bupati, dan walikota, dipilih secara demokratis.
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 itu memang tidak secara spesifik, dalam bentuk diksi kalimat, menyebut mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih secara demokratis. Namun diksi yang disampaikan Cak Imin, soal gubernur dipilih pemerintah pusat atau ditunjuk presiden, itu berpotensi menerjang konstitusi atau inkonstitusional.
Meski dengan alasan, gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. Gubernur memang secara fungsi adalah perwakilan pemerintah pusat di daerah dalam bentuk pemerintahan provinsi. Namun perlu diketahui bahwa di setiap provinsi juga memiliki DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu.
Alasan pemilihan kepala daerah secara langsung menghabiskan biaya tinggi atau cukup mahal, itu kan hanya ukuran dari sisi budaya politik di Indonesia yang melakukan pembiaran atas terjadinya money politik atau politik uang.
Larangan money politik malah menjadi semacam kampanye untuk besar-besaran angka atau nilai rupiah politik uang. Bahkan larangan itu hanya slogan saja di penyelenggara. Baik di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Artinya, biaya mahal pilkada yang terjadi selama ini hanya untuk kebutuhan money politik saja. Soal biaya rekomendasi partai dan biaya saksi, hitungannya masih cukup realistis selama rekomendasi dari partai kepada bakal calon kepala daerah, tidak membebani calon itu sendiri.
Membenarkan Politik Uang Yang Salah
Bagaimanapun juga, money politik atau politik uang “wani piro?” yang masih menjadi momok demokrasi di Indonesia terjadi karena sejumlah faktor yang saling terkait. Misalnya dari sisi faktor masyarakatnya. Budaya dan perilaku masyarakat kita masih permisif. Nyaris 60 persen masyarakat kita menganggap politik uang sebagai hal yang biasa dan bahkan wajar jika para calon yang terjun dalam kontestasi harus melakukannya.
Sikap dan budaya permisif masyarakat ini, terpicu oleh kekecewaan mereka atas perilaku para politisi yang korup, kolusi dan menjalankan nepotisme. Ini yang menjadikan masyarakat menganggap money olitik itu wajar dan biasa. Jika tidak, mereka akhirnya apatis dan skeptis terhadap politik.
Belum lagi faktor pendidikan dan kondisi ekonomi masyarakat yang rendah. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, terutama lulusan SD, dan lapisan ekonomi bawah lebih rentan terpapar politik uang. Uang dalam jumlah kecil sudah sangat berarti bagi mereka, sehingga mudah terpengaruh dan menerima uang untuk memilih.
Money politik semakin tak terkendali karena sistem penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten. Secara aturan dan sanksi soal politik uang dalam pemilu sudah cukup memadai meskipun definisinya dalam Undang-Undang pemilu masih terkesan ambigu. Persoalannya, selain penegakan hukumnya yang lemah dan pengawasan yang minim, ambiguitas definisi politik uang dalam UU pemilu menjadikan pemberantasan dan penghukuman terhadap pelaku menjadi sulit.
Apalagi jika ditambah dengan dalil-dalil agama yang membolehkan terjadinya money politik dari para kalangan pemuka agama (Islam), yang menyebutkan, politik uang perlu dilakukan guna memerangi calon kepala daerah yang dholim atau sangat berpotensi merusak tatanan kehidupan mayarakat. Sebuah dalil yang akhirnya masyarakat memaklumi politik uang, meskipun mereka tidak bisa langsung membedakan mana calon pemimpin yang dholim dan mana yang baik. Akhirnya, pilihannya jatuh pada yang baik adalah mereka yang memberikan uang lebih banyak atau lebih besar.
Dalam konteks pemilu legislative, faktor pemilu dengan persaingan yang ketat karena banyaknya calon yang berkompetisi, dengan sistem pemilu yang proporsioal terbuka, memicu para calon menggunakan cara praktis dan efektif berupa money politik untuk mendapatkan suara dan menang.
Berikutnya adalah faktor timbal balik antara politisi dan pemilih. Money politik merupakan fenomena klientelisme dan patronase. Sebuah hubungan saling menguntungkan antara politisi yang memberikan uang dengan pemilih yang menjual suaranya. Faktor ini menciptakan ikatan politik yang tidak seimbang dan berpotensi korupsi.
Belum soal realitas politik, dan demokrasi kita yang transaksional. Realitas politik uang dalam sistem demokrasi di Indonesia dianggap sebagai keniscayaan. Praktik ini terjadi karena minimnya integritas dan fairness dalam proses politik.
Singkatnya, money politik di Indonesia masih terjadi karena kombinasi budaya masyarakat yang permisif, pendidikan dan ekonomi rendah, sistem pemilu yang menguntungkan praktik tersebut, lemahnya penegakan hukum, dan siklus politik patronase-klientelisme yang belum terputus.
Namun bukan berarti, budaya ‘salah‘ politik uang yang mengakibatkan biaya pilkada mahal, menjadi alasan pembenar untuk mengembalikan proses pemilihan kepala daerah kepada pemerintah pusat atau DPRD. Meskipun jika dipilih DPRD juga tidak menyalahi konstitusi. Sebab politik kita sudah pada titik pemilihan langsung oleh masyarakat, dengan sistem demokrasi ‘one man one vote’, sebagaimana UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umm Daerah, DPRD, Pemilihan Kepala Daerah.
Revisi UU Pemilu Daerah
Tak ayal, usulan Cak Imin membuat gaduh kondisi perpolitikan di Indonesia, mengingat saat ini, DPR RI sedang dalam proses pembahasan revisi Undang-Undng Pemilukada, sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengubah skema pelaksanaan pemilu di Indonesia. Yaitu dipisahkannya pemilu nasional dan pemilu daerah. Putusan ini memisahkan pelaksanaan pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) pada tahun 2029, dan pemilu daerah (Pilkada dan DPRD) pada tahun 2031 yang sama-sama digelar serentak.
Komisi II DPR RI menegaskan, revisi UU Pilkada harus hati-hati, cermat, dan partisipatif karena perubahan ini berkaitan dengan desain besar demokrasi elektoral di Indonesia. Revisi tidak hanya soal penjadwalan, tetapi juga mengatur kesiapan regulasi, kelembagaan penyelenggara, dan kepastian hukum terkait masa jabatan pejabat publik di daerah yang berpotensi mengalami masa jeda 2029-2031.
Banyak hal teknis yang saat ini dikaji Komisi II DPR RI. Mulai dari evaluasi pengalaman Pilkada serentak sebelumnya, tantangan teknis penyelenggaraan, aspek hukum, penguatan partisipasi rakyat, dan peningkatan kualitas demokrasi serta tata kelola penyelenggaraan pemilu agar lebih efisien, transparan, dan akuntabel.
Proses revisi UU Pemilukada oleh DPR itu juga melibatkan berbagai stakeholder seperti pemerintah, penyelenggara pemilu, serta organisasi masyarakat sipil dan akademisi agar menghasilkan revisi yang komprehensif dan konstitusional.
Sehingga ketika Cak Imin melemparkan usulan kepala daerah, terutama gubernur dipilih atau ditunjuk oleh pemerintah pusat, di tengah-tengah suasana pembahasan RUU Pilkada, semakin membuat gaduh suasana. Soal kesalahan pembiaran politik uang mestinya menjadi bahan koreksi untuk perbaikan sistem pemilu demi demokrasi yang lebih bermartabat dan berdaulat sesuai UUD 1945.
Usulan Cak Imin mestinya didikusikan lebih dahulu sebelum dilempar ke publik, agar Undang-Undang atau aturan terkait dengan pemilu yang dilahirkan pembuat UU, memberikan jaminan ke publik menuju demokrasi kerakyatan yang bermakna dan berdaulat, serta melahirkan pemimpin-pemimpin yang hebat, memiliki integritas, kapabel, akuntabel dan benar-benar sesuai harapan rakyat.
Sudahlah Cak Imin. Tidak perlu bawa nama-nama organisasi NU demi agenda politik pihak tertentu. Jangan lagi kau mundurkan sistem pemilu yang sudah progresif ini.(*)