NARAKITA, JAKARTA – Maraknya praktik pengoplosan beras belakangan ini membuat publik geram sekaligus khawatir. Terlebih, beras tersebut dipasarkan dalam kemasan premium dan beredar luas di ritel modern, seperti minimarket hingga supermarket.
Temuan tersebut diungkap langsung oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang menyebut bahwa sebanyak 212 merek beras tidak memenuhi ketentuan standar mutu. Dari jumlah itu, 26 di antaranya kuat dugaan merupakan hasil campuran antara beras mutu rendah dengan beras berkualitas.
Lebih parahnya lagi, hasil uji lapangan menyasar produk dari sejumlah perusahaan besar yang selama ini dikenal publik sebagai produsen beras ternama. Wilayah distribusi beras-beras tersebut mencakup sejumlah provinsi, dari Aceh, Lampung, hingga wilayah Jabodetabek dan Yogyakarta.
Pelanggaran ditemukan dalam berbagai aspek, mulai dari bobot yang tidak sesuai label, klaim kualitas premium yang menipu, hingga penambahan unsur tertentu untuk memperindah tampilan. Tak sedikit konsumen merasa tertipu karena membeli produk mahal namun isinya tak sebanding.
Tak pelak, kekhawatiran pun bermunculan. Apakah beras oplosan bisa membahayakan jika telah dikonsumsi? Banyak warga bertanya-tanya, terlebih bagi mereka yang terlanjur memasak dan menghidangkan beras yang diduga tidak murni.
Seberapa Bahaya
Menanggapi keresahan tersebut, dokter spesialis penyakit dalam, dr Aru Ariadno, SpPD-KGEH, menjelaskan bahwa tidak semua beras oplosan otomatis berbahaya. Menurutnya, selama beras tersebut tetap berbahan dasar beras asli tanpa bahan kimia, maka dampaknya tidak fatal secara medis.
“Secara umum, beras oplosan tidak akan menyebabkan efek kesehatan berat selama tidak dicampur zat asing atau bahan kimia berbahaya,” ujarnya saat dihubungi pada Selasa (15/7/2025).
Namun, ia menekankan bahwa kualitas beras tentu mempengaruhi nilai gizi makanan. Dalam beras premium, biasanya kandungan vitamin B1 atau tiamin lebih tinggi dibanding beras biasa. Bila dicampur, maka nilai gizinya bisa menurun.
Tak hanya itu, kualitas beras juga mempengaruhi daya tahan nasi yang dihasilkan. Menurut dr Aru, nasi dari beras berkualitas rendah cenderung lebih cepat basi, bertekstur lembek, dan mudah berair ketika disimpan dalam suhu ruang.
“Kalau pakai beras bagus, nasi bisa tahan seharian tanpa berubah rasa. Tapi kalau kualitasnya di bawah, biasanya cepat asam,” ungkapnya.
Meski dari sisi kesehatan tidak menyebabkan keracunan langsung, ia menyoroti bahwa persoalan utama terletak pada etikanya. Beras dengan mutu rendah dijual seolah-olah berstandar tinggi, dan dijajakan dengan harga premium. Ini, menurut dr Aru, adalah bentuk penipuan sistematis yang merugikan konsumen.
Ia mengingatkan bahwa tindakan semacam ini mencerminkan degradasi moral pelaku usaha yang hanya mengejar untung tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat luas.
“Kalau bicara medis mungkin tidak bahaya langsung. Tapi secara sosial dan etika, ini sangat memprihatinkan. Konsumen ditipu, uang habis, gizi pun berkurang,” ucapnya.
dr Aru juga mengimbau masyarakat agar lebih selektif saat membeli bahan pangan pokok, termasuk beras. Ia menyarankan agar pembeli mencermati warna, tekstur, aroma, dan label kemasan secara teliti sebelum memutuskan membeli.
Senada dengan itu, seorang pengepul beras di Banjarnegara, Suparlan (47), menambahkan bahwa solusi paling aman agar tidak tertipu adalah membeli langsung dari penggilingan padi. Menurutnya, proses di lapangan bisa disaksikan langsung oleh pembeli, sehingga tidak ada ruang untuk manipulasi.
“Kalau beli dari kami langsung, bisa lihat berasnya diolah di depan mata. Nggak mungkin ada campur-campur. Dari dulu saya nggak pernah niat untuk nipu orang desa,” ujar Suparlan saat ditemui di tempat usahanya.
Ia mengaku miris melihat praktik oplosan yang kini viral. Baginya, menjual beras apa adanya lebih berkah ketimbang mengoplos dan mengelabui pembeli demi untung sesaat.
Kasus beras oplosan ini pun jadi pelajaran penting bagi semua pihak: pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat. Bagi pelaku, ini menjadi pengingat bahwa kepercayaan konsumen tidak bisa dibeli dengan kemasan semata. Bagi pemerintah, ini sinyal untuk memperketat pengawasan rantai distribusi pangan.
Sementara bagi masyarakat, penting untuk kembali membangun budaya waspada dan kritis saat berbelanja. Karena di balik sebutir nasi, bisa jadi tersimpan praktik curang yang tak kasat mata. (*)