NARAKITA, SUMATRA – Peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mencuat di Pulau Sumatra. Asap pekat dan titik-titik api dilaporkan muncul di dua provinsi, yakni Sumatra Utara dan Sumatra Barat, menandai peningkatan ancaman di tengah musim kemarau yang makin mengeringkan vegetasi.
Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa karhutla telah terjadi di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Lokasi yang terdampak adalah kawasan Nagari Solok Bio-Bio, Kecamatan Harau.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menjelaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada Kamis malam, 10 Juli 2025, sekitar pukul 20.00 WIB. Menurutnya, lokasi kebakaran cukup sulit dijangkau.
“Api membakar sekitar satu hektare lahan dan berada di tebing curam, sehingga menyulitkan proses pemadaman,” ujar Abdul dalam pernyataan resminya pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Meski medan tergolong ekstrem, tim dari BPBD Sumatra Barat terus berupaya melakukan pemadaman manual dengan dukungan masyarakat setempat. Fokus utama saat ini adalah mencegah api menjalar ke area yang lebih luas.
Tidak hanya Sumatra Barat, peristiwa serupa juga terjadi di Sumatra Utara. BPBD Padang Lawas Utara mencatat sedikitnya sembilan hektare lahan terbakar dalam kejadian terpisah di dua wilayah berbeda.
“Karhutla di Sumatra Utara terjadi pada Jumat, 11 Juli 2025. Lokasinya meliputi Desa Mompang II Simpang dan Desa Pasir Ampolu Hopong. Api berhasil dipadamkan pada hari yang sama,” ungkap Abdul.
Menurut Abdul, keberhasilan pemadaman itu berkat koordinasi intensif antara BPBD setempat dengan dukungan masyarakat. Ia menekankan pentingnya kerja sama antarpihak untuk mencegah penyebaran yang lebih luas.
BNPB juga kembali mengingatkan pentingnya kesiapsiagaan semua unsur, termasuk pemerintah daerah, aparat desa, dan masyarakat, untuk melakukan langkah-langkah antisipatif sejak dini.
Pencegahan lebih efektif, menurut Abdul, bisa dilakukan sebelum munculnya titik api. Peran seluruh elemen masyarakat, termasuk dunia usaha, akademisi, dan media, sangat penting dalam memitigasi risiko karhutla.
“Unsur pentahelix perlu dilibatkan aktif dalam upaya pengendalian karhutla. Deteksi dini dan respon cepat menjadi kunci,” ujarnya.
Pulau Sumatra sendiri dikenal sebagai wilayah dengan potensi karhutla tinggi setiap musim kemarau. Kelembaban udara yang rendah dan angin kencang mempercepat penyebaran api ketika terjadi percikan di lahan kering.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah memprediksi kenaikan potensi kebakaran hutan pada tahun 2025, khususnya di kawasan Riau dan Sumatra Utara.
Dalam laporan BMKG bulan Mei 2025, disebutkan bahwa wilayah-wilayah seperti Riau, Jambi, hingga Sumatra Utara menunjukkan tingkat risiko karhutla menengah hingga tinggi mulai April hingga Mei.
Kondisi tersebut semakin memburuk memasuki Juni, dan bahkan melebar ke sejumlah provinsi lain seperti Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua sepanjang Juli hingga September 2025.
BMKG juga mengimbau agar setiap daerah menyiapkan strategi modifikasi cuaca dan patroli darat untuk mengendalikan kemungkinan munculnya titik-titik panas yang berpotensi menjadi karhutla.
Situasi ini menjadi pengingat bahwa kebakaran hutan bukan hanya isu lingkungan, tapi juga menyangkut kesehatan, ekonomi, dan keselamatan warga yang tinggal di sekitar area terdampak.
BNPB menegaskan akan terus melakukan pemantauan dan meminta laporan dari daerah secara berkala. Upaya pemadaman akan dilanjutkan dengan bantuan lintas sektor bila diperlukan.
Hingga kini, belum ada laporan korban jiwa, namun kerugian ekologis dan potensi gangguan pernapasan akibat asap patut diwaspadai jika kejadian ini terus berlanjut. (*)