NARAKITA, PURWAKARTA – Sejumlah sekolah swasta di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, tengah menghadapi masa sulit. Minimnya jumlah pendaftar siswa baru tahun ajaran 2025/2026 memicu kekhawatiran para pengelola lembaga pendidikan non-negeri.
Salah satu penyebab yang disebut turut memicu krisis ini adalah kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang memperbolehkan sekolah negeri menerima hingga 50 siswa dalam satu rombongan belajar (rombel). Kebijakan ini dianggap berdampak langsung pada turunnya minat calon siswa untuk masuk ke sekolah swasta.
Dampak nyata dirasakan oleh dua sekolah di bawah naungan Yayasan Yasri, yakni SMK Bina Budi dan SMK Farmasi. Sampai sepekan menjelang dimulainya tahun ajaran baru, jumlah pendaftar di dua sekolah ini sangat minim.
“SMK Bina Budi hanya mencatat tujuh pendaftar baru, sementara SMK Farmasi mendapatkan tiga belas,” ujar Ketua Yayasan Yasri, Agus Muharam, saat ditemui pada Senin (7/7/2025).
Jumlah itu menandai penurunan drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal, SMK Bina Budi dulu sempat mengelola hingga sepuluh kelas aktif. Kini, hanya tersisa tiga kelas dari kelas 10 hingga kelas 12, dengan total siswa aktif sebanyak 36 orang.
Agus menilai tren ini sebagai sinyal bahaya bagi eksistensi sekolah swasta. Terlebih, dengan pemasukan yang terbatas akibat sepinya siswa, pihak sekolah kesulitan menutup kebutuhan operasional harian.
“Kami tetap berusaha bertahan. Tapi realitanya, tanpa cukup jumlah murid, kami kesulitan membayar gaji guru dan staf. Kalau dibiarkan, ini bisa menghentikan roda pendidikan di sekolah swasta,” jelas Agus.
Ia berharap kebijakan kuota siswa di sekolah negeri tidak diterapkan secara merata tanpa mempertimbangkan daya tampung wilayah dan keberadaan sekolah swasta di sekitarnya. Menurutnya, perlu ada regulasi yang lebih adil dan kolaboratif.
“Kita tidak bisa pungkiri, sekolah negeri memang jadi pilihan utama masyarakat. Tapi bukan berarti sekolah swasta ditinggalkan begitu saja,” tegas Agus.
Kondisi ini menimbulkan dilema tersendiri, karena sekolah swasta selama ini juga berperan besar dalam menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat, terutama di wilayah dengan keterbatasan kapasitas sekolah negeri.
Agus mengajak pemerintah daerah dan provinsi untuk duduk bersama mencari solusi yang saling menguntungkan. Salah satu alternatifnya adalah pembatasan kuota rombel di sekolah negeri atau subsidi operasional bagi sekolah swasta yang kekurangan siswa.
“Kalau semua siswa diarahkan ke sekolah negeri, maka keberadaan sekolah swasta akan pelan-pelan tergerus,” tambahnya.
Keluhan ini juga bukan hanya dirasakan di Purwakarta. Di berbagai daerah, keluhan serupa mulai bermunculan, terutama dari yayasan kecil yang tidak memiliki banyak sumber daya untuk bersaing secara terbuka dengan sekolah negeri.
Agus menekankan pentingnya pemerataan dalam dunia pendidikan. Menurutnya, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya tanggung jawab sekolah negeri saja, tetapi juga sekolah swasta yang turut berdedikasi sejak lama.
“Kita ingin pemerintah melihat sekolah swasta sebagai mitra, bukan sekadar pelengkap,” ujarnya.
Kini, Yayasan Yasri dan banyak pengelola sekolah swasta lainnya sedang menanti langkah konkret dari pemerintah. Harapannya, ada penyesuaian regulasi agar tidak terjadi ketimpangan yang semakin besar dalam sistem pendidikan daerah.
Jika dibiarkan tanpa intervensi, bukan tak mungkin sekolah-sekolah swasta akan berguguran satu per satu, meninggalkan banyak guru dan tenaga pendidikan tanpa kepastian. (*)