NARAKITA, JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilu lokal menuai respons beragam dari seluruh fraksi di DPR. Dari delapan fraksi yang bersuara, tak sedikit yang secara terang-terangan menolak, sebagian lainnya memilih bersikap hati-hati dan menunggu kajian lebih lanjut.
Putusan ini tercantum dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK memutuskan bahwa pemilu daerah harus digelar dua hingga dua setengah tahun setelah pemilu nasional yang mencakup pemilihan presiden, DPR, dan DPD. Sementara pemilu lokal meliputi pemilihan gubernur, bupati/wali kota, serta DPRD.
PDIP lewat Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut pelaksanaan pemilu lima tahun sekali adalah amanat konstitusi. Ia mengingatkan seluruh partai untuk mencermati dampak putusan MK sebelum mengambil sikap resmi. “Imbas atau efek dari keputusan MK ini tentu harus dikaji secara matang,” ujar Puan.
Fraksi Golkar, Gerindra, PKS, dan PAN hingga saat ini masih belum mengambil sikap resmi. Namun keempatnya menyoroti potensi implikasi hukum dan politik, termasuk kemungkinan perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.
Wakil Ketua MPR dari PAN, Eddy Soeparno, bahkan menilai MK telah melampaui kewenangannya dengan merinci waktu pelaksanaan pemilu lokal. “MK mestinya hanya menguji konstitusionalitas, bukan menetapkan aturan teknis baru,” kritik Eddy.
Keras Menolak
Sikap paling tegas ditunjukkan oleh Fraksi NasDem. Lewat Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, partai ini menyebut putusan MK sebagai inkonstitusional karena dianggap melanggar Pasal 22E UUD 1945. “Putusan MK ini tak punya kekuatan hukum mengikat,” tegas Rerie di NasDem Tower.
Sementara Fraksi PKB menilai, putusan MK bisa menciptakan kekacauan dalam masa transisi kekuasaan daerah. Jazilul Fawaid bahkan menyarankan agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD demi efisiensi dan kepastian hukum. “Lebih hemat dan lebih sesuai dengan realitas politik lokal,” ujarnya.
Sikap berbeda diambil Fraksi Demokrat. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Dede Yusuf menyebut putusan MK sejalan dengan usulan partainya yang selama ini mengusulkan jeda 2 hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional dan daerah. “Tapi tentu, semua tetap perlu dikaji matang agar tidak ada pelanggaran konstitusi,” kata Dede yang juga anggota anggota DPR RI ini.
Meski putusan MK bersifat final dan mengikat, perdebatan tentang implementasi dan dampak hukumnya masih jauh dari kata selesai. Apalagi bila menyangkut perubahan sistem pemilu dan revisi undang-undang, suara partai di parlemen akan menjadi krusial. (*)