MUSIBAH tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali meninggalkan duka yang mendalam. Kapal penyeberangan yang membawa puluhan penumpang itu mendadak mengalami kerusakan serius pada mesin dan listrik.
Dalam waktu singkat, kapal itu miring, lalu tenggelam. Beberapa korban ditemukan meninggal dunia, sisanya berhasil selamat dengan luka batin yang tak mudah hilang.
Kejadian ini menjadi pengingat penting bagi siapa pun yang bepergian lewat jalur laut. Sebab dalam tradisi Islam, ada tuntunan yang telah diajarkan agar perjalanan di lautan—seperti naik kapal, perahu, atau bahkan speedboat—dilakukan dengan hati yang bergantung penuh kepada Allah.
Salah satu bentuk tawakal itu adalah dengan membaca doa yang pernah dibaca oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam saat menaiki bahtera bersama kaumnya di tengah banjir besar.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengabadikan doa tersebut:
بِسْمِ اللهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ (هود 41)
Bismillâhi majrêhā wa mursāhā, inna rabbî la ghafûrur rahîm
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah di saat kapal ini berlayar dan berlabuh. Sungguh Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Surat Hûd ayat 41)
Doa ini bukan hanya pengingat sejarah, tapi juga perlindungan yang nyata. Karena seperti halnya Nabi Nuh yang di tengah bahaya tetap menyerahkan urusannya kepada Tuhan, demikian pula seharusnya kita dalam setiap perjalanan—terlebih lagi perjalanan laut yang penuh risiko.
Tak hanya itu, Rasulullah ﷺ sendiri juga mengajarkan umatnya untuk membaca doa tersebut. Dalam hadits yang diriwayatkan dalam Kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi, disebutkan bahwa siapa saja yang mengucapkan doa ini saat menaiki kendaraan laut, maka ia akan terhindar dari tenggelam.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“أمانٌ لأُمَّتي منَ الغَرَقِ إذا رَكِبوا أن يقولوا: بِسْمِ اللَّهِ مَجراها وَمُرساها إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ وَما قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ…”
“Bismillâhi majrêhā wa mursāhā, inna rabbî la ghafûrur rahîm, wa mâ qadarullâha haqqa qadrihî…”
Hadits ini diriwayatkan dari Sayyidina Husein bin Ali RA, dan disebutkan bahwa doa ini menjadi penjaga dari bahaya di lautan.
Adapun lanjutan dari ayat yang dibaca Rasulullah ﷺ berasal dari surat Az-Zumar ayat 67:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (الزمر 67)
Wa mâ qadarullâha haqqa qadrihî, wal-ardhu jamî‘an qabdhatuhû yaumal qiyâmah, was-samâwâtu mathwiyyâtum bi yamînihî, subhânahû wa ta‘âlâ ‘ammâ yusyrikûn
Artinya: “Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.”
(Surat Az-Zumar ayat 67)
Dua ayat ini menjadi kombinasi doa yang amat dianjurkan untuk dibaca saat hendak menyeberang lautan. Tak sekadar ucapan, melainkan bentuk tunduk dan pengakuan atas kebesaran Allah dalam mengatur segala ciptaan-Nya.
Perjalanan laut, sebagaimana perjalanan hidup, penuh ketidakpastian. Teknologi dan pengalaman bisa jadi penting, namun permohonan keselamatan kepada Allah jauh lebih utama.
Doa ini bisa dibaca setiap kali naik perahu, kapal ferry, kapal nelayan, atau alat transportasi laut apa pun. Bacaan yang ringan, namun insya Allah membawa keselamatan.
Sebagai ikhtiar lahir dan batin, umat Islam tak hanya diajarkan untuk menyiapkan bekal dan pelampung, tapi juga membentengi diri dengan doa-doa perlindungan seperti ini.
Kisah KMP Tunu menjadi pengingat bahwa musibah bisa datang tanpa aba-aba. Maka tak ada salahnya kita memulai setiap perjalanan dengan menyebut nama-Nya. Semoga setiap pelayaran kita dikawal dengan penjagaan dari langit, dan pulang dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Wallâhu a‘lam. (*)