SOSOK Ma’ruf Cahyono dulunya identik dengan birokrasi yang tertata dan reformasi kelembagaan. Kariernya menanjak di lingkungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), hingga akhirnya ia dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal sejak 2016.
Ia dikenal sebagai figur yang tak hanya administrasi, tapi juga pemikir ketatanegaraan. Namun, belakangan namanya kembali muncul di media bukan karena prestasi, melainkan kasus hukum.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ma’ruf sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi senilai Rp17 miliar. Gratifikasi itu diduga berkaitan dengan sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di MPR saat dirinya masih menjabat sebagai Sekjen pada periode 2019–2021.
“MC, Sekjen MPR periode 2019 sampai 2021, kami tetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan kasus gratifikasi,” terang Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK, Kamis (3/7).
Kabar ini mengejutkan banyak pihak, terlebih karena Ma’ruf tengah mencoba kembali ke panggung publik melalui jalur politik. Ia tercatat sempat mencoba peruntungan sebagai bakal calon Bupati Banyumas untuk Pilkada 2024. Berpasangan dengan politikus muda Gerindra, Rachmat Imanda, Ma’ruf sempat diusung oleh Partai Nasdem.
Namun, dengan perolehan kursi yang minim di DPRD, pasangan ini masih membutuhkan dukungan tambahan untuk bisa maju resmi sebagai kontestan pilkada. Dukungan dari partai besar seperti Gerindra pun belum bersifat final. Sementara itu, status non-partai membuat posisi Ma’ruf semakin dinamis.
Di luar urusan politik lokal, Ma’ruf memiliki riwayat karier panjang di MPR. Sebelum menjabat sebagai Sekjen, ia pernah memimpin Pusat Kajian MPR serta menjabat Kepala Biro Humas. Pengangkatannya sebagai Sekjen pun melewati proses seleksi ketat yang melibatkan Tim Penilai Akhir, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Di masa kepemimpinannya, Sekretariat Jenderal MPR mendapatkan berbagai penghargaan. Di antaranya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama lima tahun berturut-turut, penghargaan pengelolaan aset negara (BMN Award), serta penilaian maturitas level 3 dari BPKP dalam pengelolaan internal pemerintah.
Tak hanya aktif di birokrasi, Ma’ruf juga dikenal dalam dunia akademik. Ia dikukuhkan sebagai Profesor Kehormatan Ilmu Hukum oleh Universitas Sultan Agung (Unissula) dan memimpin Ikatan Alumni STIH IBLAM. Ia pun merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Reputasinya sempat mengantarkannya masuk dalam buku 100 Tokoh Inspirasi Jawa Tengah bersama sejumlah nama besar seperti Presiden Joko Widodo, Ganjar Pranowo, hingga KH Mustofa Bisri. Di sana, ia digambarkan sebagai “pejabat pemikir” yang membawa gagasan-gagasan besar ke dalam lembaga formal.
Tak hanya itu, ia juga mendapat penghargaan dari Obsession Media Group sebagai The Best Bureaucrat (2019) serta pernah menerima Satyalancana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo atas kontribusinya di MPR.
Namun semua pencapaian itu kini bergeser di tengah proses hukum yang menjeratnya. KPK terus mendalami aliran dana dan investasi yang diduga melibatkan Ma’ruf. Beberapa saksi telah diperiksa, meski belum semuanya hadir memenuhi panggilan penyidik.
Sekjen MPR saat ini, Siti Fauziah, menyatakan kasus ini tidak menyangkut unsur pimpinan MPR periode manapun. Ia menegaskan bahwa lembaga menghormati proses hukum dan tetap berkomitmen menjaga integritas kelembagaan.
“MPR menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada KPK,” ujarnya singkat.
Pertanyaan kini bergeser: apakah Ma’ruf kelak akan tetap melanjutkan langkah politiknya di Pilkada Banyumas, atau memilih menepi untuk menghadapi kasus hukumnya? Belum ada jawaban pasti.
Yang jelas, sosok yang dulu dianggap inspiratif itu kini harus membuktikan dirinya di depan hukum. Dari seorang pemikir konstitusi hingga kandidat kepala daerah, reputasinya kini sedang berada di titik krusial — di antara kenangan prestasi dan tantangan pembuktian integritas. (*)