MAHKAMAH Agung (MA) menebalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta atas vonis 20 tahun penjara kepada suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis. Mungkinkah hukuman ini sebanding dengan kerugian yang dialami negara? Bagaimana dengan vonis hukuman bagi pelaku korupsi lainnya.
Harvey Moeis, narapidana kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, awalnya hanya di vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp210 miliar, oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
Atas vonis itu, jagat netizen bergolak. Bahkan ramai-ramai netizen menyuarakan hukuman seberat-beratnya bagi Harvey Moeis. Kata netizen, hukuman itu tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung negara.
Meski mendapat vonis ringan, Harvey Moeis justeru mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI dengan harapan, hukuman yang diterimanya diperingan di pengadilan tingkat dua.
Harapan itu kandas lantaran Majelis Hakim Pengadilan tinggi DKI Jakarta yang memimpin sidang banding itu, justeru memperberat vonis pengadilan tingkat pertama. Yakni hukuman 20 tahun penjara, denda Rp1 miliar dan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp420 miliar. Jika tidak mampu membayar uang pengganti kerugian itu, Harvey Moeis harus menjalani hukum tambahan 10 tahun penjara.
Mendapatkan putusan lebih berat, Harvey Moeis pun melangkah ke pengadilan tingkat akhir. Yaitu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dan palu MA malah semakin menguatkan putusan pengadilan sebelumnya terhadap ‘perpanjangan tangan’ PT Refined Bangka Tin (RBT) ini.
Putusan MA Nomor 5009 K/PID.SUS/2025 menolak kasasi Harvey Moeis. Drama panjang kasus korupsi tata niaga komoditas timah di bagian belakang PT Timah Tbk. ini akhirnya berakhir. Trio Hakim Agung yaitu Dwiarso budi Santiarto, Arizon Mega Jaya dan Ahmad Setyo Pudjoharsoyo, pada Rabu (25/6/2025) memupus harapan Harvey Moeis.
Selain terhadap Harvey Moeis, MA juga memperberat vonis hukuman atas terdakwa lainnya, yaitu Manajer PT Duantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim. “Crazy rich PIK” yang juga terlibat pusaran kasus korupsi tata niaga komoditas timah ini, awalnya divonis 8 tahun penjara, denda Rp900 juta subsider 1 tahun penjara dalam pengadilan tingkat pertama.
Di pengadilan tingkat banding, hukuman Helena Lim diperberat menjadi 10 tahun kurungan dan denda Rp900 juta subsider 1 tahun penjara. Putusan ini diperkuat MA melalui amar putusan dalam perkara yang diregister dengan Nomor 4985 K/PID.SUS/2025.
Dalam korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun ini, terbukti peran Harvey Moeis sebagai slah satu tokoh sentral. Bersama Helena Lim, ia terbukti menerima uang sebesar Rp420 miliar.
Sementara peran Helena bertugas mencuci uang hasil korupsi Harvey Moeis melalui perusahaan penukaran uang asing PT QSE. Melalui perusahaan money canger ini, Helena mendapatkan keuntungan dari fee atau imbalan sebesar Rp900 juta.
Uang haram itu dinikmati hingga keduanya dikenal sebagai ‘crazy rich‘ di Pantai Indah Kapuk. Tak cukup dinikmati dengan gaya hidup mewah, keduanya juga mencuci bersih uang-uang hasil korupsi tersebut nyaris sempurna. Publik berharap, keduanya juga dikenakan hukuman atas tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukannya.
Putusan MA yang memperberat hukuman Harvey Moeis dan Helena Lim ini, semestinya menjadi peringatan bagi para penjarah kekayaan alam Indonesia, yang berpotensi merugikan negara. Meskipun hukuman bagi keduanya ini, dinilai publik belum sebanding dengan angka kerugian negara akibat perilaku keduanya.
Sudah semestinya hukuman berat minimal penjara seumur hidup diputuskan oleh negara kepada para pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara minimal Rp100 miliar, selain hartanya dirampas atau dimiskinkan. Jika tidak ada hukuman berat, pemberantasan kejahatan jenis ini sulit terwujud. Bayangkan saja, hukuman pencuri ayam tetangga, nyaris sama dengan hukuman pejabat yang mencuri uang negara miliaran bahkan triliunan rupiah.(*)