NARAKITA, JAKARTA- Pemerintah menetapkan 1,4 juta keluarga dari kelompok termiskin sebagai sasaran prioritas dalam upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia. Kelompok ini dinilai paling rentan terhadap risiko stunting karena keterbatasan dalam akses gizi, sanitasi, air bersih, serta edukasi kesehatan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Wihaji, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta, Selasa (1/7).
Dikatakan, dari 42 juta pasangan usia subur di Indonesia, terdapat 8,6 juta keluarga yang tergolong berisiko stunting, dan sebanyak 1,4 juta keluarga berasal dari desil 1, yakni kelompok 10 persen masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah.
“Keluarga miskin dengan risiko stunting tinggi ini menjadi prioritas penanganan karena kondisi mereka sangat rentan, baik dari segi nutrisi maupun akses layanan dasar,” ujar Wihaji di hadapan anggota dewan.
Menurutnya, pemerintah akan menerapkan pendekatan komprehensif, tidak hanya melalui intervensi gizi, tetapi juga perbaikan lingkungan dan perubahan perilaku. Fokus utama mencakup peningkatan akses air bersih, perbaikan sanitasi, edukasi gizi, serta penguatan peran tokoh agama dan tokoh adat dalam sosialisasi pencegahan stunting.
“Perubahan perilaku tidak cukup hanya melalui edukasi formal. Di banyak wilayah, tokoh agama dan adat lebih didengar oleh masyarakat. Karena itu, mereka akan kami libatkan sebagai agen perubahan,” tambah Wihaji.
Lebih lanjut, ia memaparkan sejumlah data yang memperlihatkan dimensi non-gizi dari penyebab stunting. Saat ini terdapat 3,7 juta keluarga berisiko stunting yang tidak memiliki jamban layak, 1,9 juta tidak memiliki akses air minum utama yang layak, dan 4,3 juta pasangan usia subur masih menjalani pola “empat terlalu”, yakni terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak anak, serta tidak menggunakan kontrasepsi modern.
Intervensi Gizi
Dalam rapat yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa pelaksanaan intervensi gizi untuk ibu hamil masih belum optimal. Ia menyoroti rendahnya capaian konsumsi tablet tambah darah dan pemberian makanan tambahan bagi ibu dengan kekurangan energi kronik (KEK).
“Target konsumsi tablet tambah darah selama kehamilan sebesar 65 persen, tapi saat ini baru tercapai 15,5 persen. Sedangkan pemberian makanan tambahan bagi ibu KEK baru mencapai 40,7 persen dari target 84 persen,” papar Menkes.
Guna mengatasi hal tersebut, Kementerian Kesehatan bersama Badan Gizi Nasional (BGN) akan memperluas cakupan layanan gizi bagi kelompok rentan, termasuk melalui sistem distribusi langsung di posyandu dan puskesmas, serta memperkuat peran tenaga kesehatan di lini terdepan.
Pemerintah menargetkan prevalensi stunting anak Indonesia turun hingga di bawah angka 14 persen pada tahun 2027. Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023, prevalensi stunting nasional masih berada di kisaran 21,6 persen.
Pemerintah optimistis bahwa strategi intervensi berbasis keluarga dan komunitas, dengan dukungan lintas sektor, akan mempercepat pencapaian target tersebut. Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat dianggap krusial dalam memutus rantai stunting antargenerasi. (*)