NARAKITA, JAKARTA– Seluruh legislator partai politik segera berkumpul menyikapi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Hal itu disampaikan Ketua DPR RI Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025). Menurut Puan, putusan MK tersebut berdampak angsung pada pemilu, terutama pada Pilkada dan Pemilihan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota se-Indonesia. Pemilu daerah yang dijeda dua hinga 2,5 tahun dari pemilu nasional, secara otomatis berdampak pasa masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024.
Opsi yang muncul, jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilu 2024 akan diperpanjang menyesuaikan Waktu pelaksanaan Pemilu Daerah yang berdasarkan putusan MK tersebut dijadwalkan tahun 2031.
“Ini bukan hanya sikap Fraksi PDI Perjuangan saja, tetapi tentu saja semua partai. Karena Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa pemilu itu digelar sekali dalam lima tahun atau dilaksanakan lima tahun sekali. Sehingga putusan ini perlu dicermati seluruh partai politik,” kata Puan.
Ketua DPP PDI Perjuangan ini mengaku bahwa saat ini, partai politik masih mendengarkan masuk dari pemerintah dan pegiat pemilu. Setelah proses itu selesai, pimpinan DPR akan meminta pandangan dari fraksi-fraksi di DPR terkait dengan putusan MK tersebut.
“Kemarin kita sudah mendengaran asukan dari pemerintah dan perwakilan masyarakat pemerhati pemilu. Nanti DPR yang mewakili partai politik melalui fraksi-fraksinya, akan menyampaikan sikap dan pandangan berdasarkan partainya kepada pimpinan,” ujar Puan.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 memang mengubah skema pelaksanaan pemilu menjadi dua tahap. Yaitu Pemilu Nasional yang secara serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD dan pasangan Presiden-Wakil Presiden. Pemilu nasional ini secara serentak dilaksanakan pada 2029.
Tahap kedua Pemilu Daerah. Pemilu ini untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pasangan Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, dan atau Walikota-Wakil Walikota. Pelaksanannya secara serentak di tahun 2031 atau 2 hingga 2,5 tahun setelah penyelenggaraan Pemilu Nasional.
Terpisah, Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengaku bahwa partainya masih mengkaji putusan MK tersebut. Terutama point pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pemilu daerah sebagai bentuk pelanggaran konstitusi atau tidak.
“Ya kami juga masih mengkaji, seperti juga partai politik lain juga masih mengkaji. Setiap partai tentu memiliki sikap yang berbeda, dan itu sebagai bentuk masukan yang harus dihargai. Kemudian menyikapi keputusan MK dengan membuat produk yang akan kita keluarkan nanti,” ujar Dasco.
Sebelumnya, Fraksi Partai Nasdem menggelar konferensi pers menyikapi putusan MK tersebut. Hadir dalam konferensi pers itu, Wakil Ketua Umum DPP Nasdem Saan Mustopa, Sekjend Hermawi Taslim, Anggota Majelis Tinggi Lestari Moerdijat, Ketua Fraksi Nasdem DPR Viktor Laiskodat, Ketua Fraksi Nasdem MPR Robert Rouw, Wakil Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda dan elit Nasdem lainnya.
“Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitusional. Sebab apabila Putusan MK dilaksanakan, justeru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” tegas Lestari Moerdijat siaran persnya.
Pelanggaran konstitusi yang dimaksud Partai Nasdem adalah Pasal 22E UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kemudian pemilu diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sehingga dengan demikian, Ketika setelah 5 tahun periode DPRD hasil pemilu 2024 habis masa periodenya di tahun 2029 dan tidak dilakuken pemilu DPRD, maka menurut Nasdem itu sebagai bentuk pelanggaran konstitusional.(*)