Media sosial bukanlah alat sulap untuk kesuksesan; ia hanya cerminan dari ide-ide yang sudah mengguncang dunia, sebuah gejala dari karya yang benar-benar luar biasa.
Seorang pedagang kecil mungkin tergoda untuk menghabiskan berjam-jam memoles unggahan Instagram, berharap foto produknya akan viral. Tapi tanpa karya yang otentik—misalnya, makanan khas yang bercerita tentang tradisi lokal—media sosial hanyalah kebisingan yang sia-sia. Yang membuat ide menyebar bukanlah jumlah pengikut, melainkan kekuatan cerita, dampak karya, dan kepercayaan yang dibangun. Media sosial adalah akibat, bukan penyebab keberhasilan.
Karya yang luar biasa memicu percakapan alami. Bayangkan seorang pengusaha kopi di Semarang yang menciptakan biji kopi organik dengan cerita tentang petani lokal yang berkelanjutan. Pelanggan akan berbagi pengalaman itu di media sosial—mengunggah foto cangkir kopi, menulis ulasan, atau merekomendasikannya di grup komunitas—tanpa perlu “spesialis media sosial” untuk mendorongnya. Sebaliknya, jika seseorang fokus hanya pada merapikan unggahan—memilih filter sempurna atau mengejar like—tanpa karya yang bermakna, hasilnya akan kosong. Merek besar dengan jutaan pengikut, seperti brand lokal ternama, jarang memiliki tim media sosial raksasa; dampak mereka datang dari produk atau cerita yang resonan, bukan dari jumlah staf yang memoles tweet.
Ikon sejati tidak membutuhkan media sosial untuk bersinar. Pikirkan tentang Guernica karya Pablo Picasso, lukisan yang mengguncang dunia dengan pesan anti-perangnya sejak 1937. Gambar Guernica tersebar luas di dunia digital, tapi Picasso tidak pernah perlu mengelola akun Instagram. Lukisan itu ikonis karena kekuatan narasinya, bukan karena kehadiran daringnya. Begitu pula seorang musisi jalanan yang lagunya menyentuh hati—orang akan merekam dan membagikannya secara organik, bukan karena ia pandai membuat hashtag. Media sosial hanya memperkuat apa yang sudah berharga, bukan menciptakan nilai dari ketiadaan.
Fokus berlebihan pada media sosial adalah jebakan yang menggoda. Seperti memilih dasi terbaik sebelum pidato penting, merapikan unggahan mungkin terasa produktif, tapi itu hanya permukaan. Waktu yang dihabiskan untuk mengejar like bisa dialihkan untuk memperbaiki produk, mendengar pelanggan, atau mencipta cerita yang autentik. Media sosial adalah cermin, bukan palet—ia memantulkan karya hebat, tapi tak bisa menggantikan proses menciptakannya. Saya melihat ini sebagai panggilan untuk kembali ke inti: ciptakan sesuatu yang berarti, dan biarkan dunia berbicara tentangnya. Dalam budaya yang terobsesi dengan kilatan instan, memilih karya substansial adalah pemberontakan—sebuah penegasan bahwa dampak sejati lahir dari makna, bukan dari jumlah retweet.
Ciptakan sesuatu yang layak dibicarakan sebagai langkah menuju dampak sejati. Alihkan energi dari memoles unggahan ke membangun karya yang otentik—seperti produk yang memecahkan masalah atau cerita yang menggugah emosi. Mulai hari ini, pilih satu proyek—misalnya, memperbaiki cara kamu melayani pelanggan atau membuat konten yang mencerminkan nilai pribadimu. Habiskan tiga hari untuk mengembangkannya tanpa memikirkan media sosial, lalu bagikan hasilnya secara sederhana di satu platform. Catat respons alami dari audiens selama lima hari, refleksikan apakah karya itu memicu percakapan, dan gunakan wawasan itu untuk memperkuat proyek berikutnya. Dengan fokus pada karya, bukan cermin media sosial, kamu membangun pengaruh yang bertahan lama. [dm]