Selasa, 1 Jul 2025
  • Feed
  • Like
  • Save
  • Aktivitas
  • Blog
  • Terkini
    • Kriminalitas dan Hukum
    • Politiik
  • Sport
    • Sepak Bola
  • Serba-serbi
  • Opini
🔥 HOT NEWS
Yang Belum Serahkan Uang Suap Dihukum, Yang Sudah Malah Masih Bebas
Rachmat Dihukum 2,5 Tahun Meski Belum Serahkan Uang Suap ke Mbak Ita
Baleg DPR RI; Pileg Dan Pilpres Juga Lebih Ideal Jika Dipisah
Jateng Jamin Tidak Ada PHK Bagi Honorer dan GTT Yang tidak Lolos CPNS
Jateng–Uni Eropa Tingkatkan Kerjasama Produksi Beras Rendah Karbon
Font ResizerAa
narakita.idnarakita.id
  • Terkini
  • Sport
  • Serba-serbi
  • Opini
Search
  • Terkini
    • Kriminalitas dan Hukum
    • Politiik
  • Sport
    • Sepak Bola
  • Serba-serbi
  • Opini
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Opini

Mau Serius Bereskan ODOL: Saatnya Menyasar Pemilik Barang dan Armada

oleh: Muhammad Akbar - Pemerhati Transportasi Selama ini, penanganan ODOL cenderung menggunakan pendekatan “quick fix”: razia di jalan yang menyasar sopir, tanpa menyentuh akar masalah. Yang terjadi? Sopir ditilang, truk ditahan, sementara pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab, nyaris tak tersentuh.

T. Budianto
Last updated: Juni 30, 2025 6:31 pm
T. Budianto
Juni 30, 2025
Share
11 Min Read
Muhammad Akbar ,- Pemerhati Transportasi
SHARE

SAMPAI kapan kita akan terus menyalahkan sopir, sementara yang memberi perintah tetap tak tersentuh? Selama penindakan hanya menyasar mereka yang di lapangan, ODOL akan terus jadi drama tahunan—ramai sejenak, lalu hilang tanpa perubahan nyata. Kalau sungguh ingin menuntaskannya, bukankah seharusnya kita mulai dari mereka pengambil keputusan, bukan hanya dari sopir yang menjalankan perintah?

Demo sopir truk yang marak terjadi di beberapa daerah belakangan ini seharusnya tidak dianggap sekadar bentuk penolakan terhadap penegakan hukum semata. Aksi mereka mencerminkan puncak gunung es dari sistem logistik yang tidak baik hingga penegakan hukum yang sering tebang pilih.

Persoalan ODOL ( Over Dimensi Overload ) bukan hal baru, ia sudah berlangsung bertahun-tahun. Truk-truk gendut dengan muatan melampaui batas dan berdimensi berlebih dibiarkan berlalu lalang di jalan raya, seolah-olah pelanggaran ini adalah sesuatu yang normal dan bisa dimaklumi. Akibatnya nyata, kerusakan jalan terus berulang, angka kecelakaan meningkat, dan biaya logistik membengkak. Namun sayangnya, langkah penyelesaiannya selalu setengah hati.

Lalu ketika pemerintah akhirnya mulai mengambil langkah, pendekatan pertama justru berupa sosialisasi langsung di jalan oleh polisi lalu lintas kepada para sopir truk. Sayangnya, pendekatan ini dinilai kurang tepat, bahkan juga rawan salah paham. Sudah jadi rahasia umum – setiap kali polisi mendekati truk di jalan, sopir langsung cemas, mengira ini awal mula razia atau penindakan. Alhasil, kesan yang muncul cuma satu: bahwa penegakan hukum hanya menargetkan sopir di lapangan. Maka tidak heran jika demo sopir kembali muncul. Bukan karena menolak aturan, melainkan karena mereka merasa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah.

Padahal, sopir bukanlah pihak yang menentukan ukuran bak truk, apalagi jumlah muatan yang harus dibawa. Sering kali, mereka bahkan tak punya pilihan untuk menolak ketika diminta membawa beban berlebih. Menolak berarti kehilangan pekerjaan. Maka ketika mereka turun ke jalan, itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan seruan keadilan: jangan hanya menghukum yang menjalankan, sementara yang memerintah justru dibiarkan lepas tangan.

Kenapa Sopir yang Diincar

Selama ini, penanganan ODOL cenderung menggunakan pendekatan “quick fix”: razia di jalan yang menyasar sopir, tanpa menyentuh akar masalah. Yang terjadi? Sopir ditilang, truk ditahan, sementara pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab, yaitu pemilik barang, pemilik truk, hingga karoseri, nyaris tak tersentuh. Padahal, pelanggaran muatan tidak terjadi secara tiba-tiba. Itu adalah hasil dari keputusan bisnis yang keliru dan sistematis: satu truk dipaksa mengangkut dua kali kapasitas demi menekan ongkos logistik.

Truk-truk dengan dimensi tak wajar seenaknya masih leluasa di jalan nasional tanpa hambatan berarti. Banyak di antaranya telah dimodifikasi agar lebih panjang atau lebih tinggi oleh karoseri, bahkan hingga melampaui batas yang seharusnya tak mungkin lolos uji KIR. Namun kenyataannya, kendaraan-kendaraan ini tetap bisa beroperasi di jalan umum.

Sistem pengawasan yang seharusnya menjadi pengendali justru mudah dilewati: data bisa dimanipulasi, surat-surat bisa “diurus”, dan pengawasan bisa diakali. Uji KIR yang seharusnya jadi alat kontrol bisa disiasati. Akibatnya, jalanan rusak terus-menerus karena sistem pengawasan yang dibiarkan lemah. Maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, tapi mengapa kita membiarkan pelanggaran ini menjadi kebiasaan. Apakah semua ini semata-mata kesalahan sopir? Jelas bukan mereka satu-satunya pelaku.

Digitalisasi Sistem Logistik

Mau tuntas soal ODOL? Pemerintah harus berani ubah pendekatannya secara mendasar. Penegakan hukum tidak cukup berhenti di hilir, pada sopir di jalan atau petugas lapangan. Fokus utama seharusnya menyasar para pengambil keputusan: pemilik barang yang memuat barang berlebihan, pemilik armada yang memberi izin operasional, hingga karoseri yang memodifikasi truk di luar batas wajar.

Di titik-titik inilah semua keputusan pelanggaran bermula, namun selama ini justru titik-titik krusial tersebut sering luput dari pengawasan. Imbauan atau sanksi administratif saja tidak cukup. Sudah saatnya Pemerintah mengambil langkah yang lebih menyeluruh dan berani dalam menelusuri struktur pelanggaran ini, agar tidak terus tumbuh anggapan bahwa penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Tanpa keberanian menyentuh aktor-aktor utama di balik rantai pelanggaran ODOL ini, seluruh upaya penertiban hanya akan menjadi drama tahunan, seremonial belaka, ramai di permukaan, tapi tidak pernah menyentuh akar persoalan.

Sangat disayangkan jika penegakan hukum terhadap ODOL hanya berhenti pada sopir-sopir yang berada di posisi terlemah, sementara para pemilik usaha dan pihak yang sebetulnya mengambil keputusan justru tidak tersentuh oleh penegakan hukum. Padahal, dampak kendaraan ODOL pada kerusakan jalan sangat nyata dan bukan kerugian recehan.

Kementerian Pekerjaan Uumum mencatat, bahwa setiap tahun, anggaran negara hingga Rp 40 triliun harus digelontorkan hanya untuk memperbaiki jalan rusak akibat kendaraan ODOL. Bayangkan, uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan, layanan kesehatan, atau memperkuat ketahanan pangan, bukan menambal kerusakan akibat kelalaian penegakan hukum yang dibiarkan terus berulang.

Langkah awal yang mendasar adalah menata ulang ekosistem logistik secara menyeluruh. Tarif angkutan barang harus disesuaikan dengan biaya operasional yang realistis, bukan terus ditekan atas nama efisiensi semu yang pada akhirnya mengorbankan keselamatan. Di saat yang sama, sistem upah dan jam kerja sopir juga perlu ditata ulang agar lebih manusiawi dan adil. Selama dunia usaha masih mementingkan “ongkos semurah mungkin dengan cara apa pun”, praktik ODOL akan terus dianggap sebagai trik. Bukan pelanggaran hukum, tapi solusi cepat yang diam-diam dibenarkan.

Ke depan, digitalisasi dalam sistem logistik bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan, tak bisa lagi mengandalkan cara-cara konvensional. Pemerintah perlu mempercepat adopsi teknologi seperti fleet tracking , weigh-in-motion system, serta sistem pelaporan digital yang terhubung dari titik muat hingga titik bongkar.

Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat pengawasan secara menyeluruh. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan operator logistik besar untuk menumbuhkan budaya kepatuhan berbasis data. Dengan sistem yang transparan dan saling terhubung, potensi pelanggaran bisa terdeteksi dan dicegah sejak awal, sebelum truk-truk ODOL itu sampai ke jalan raya.

Kita bisa belajar dari kesuksesan Jepang dan Korea Selatan dalam penataan sistem logistik yang tertib, transparan, dan berbasis teknologi. Di Negeri Sakura, misalnya, setiap kendaraan barang wajib terintegrasi dengan Freight Information Management System . Sistem ini memonitor tiga hal vital secara real-time: rute yang dilalui, berat muatan, dan durasi perjalanan. Hasilnya? Pemerintah dapat menganalisis pola perjalanan dan mendeteksi anomali, termasuk indikasi kelebihan muatan, sejak dini.

Sementara itu, Korea Selatan menerapkan sistem logistik berbasis digital bernama ILIS ( Integrated Logistics Information System ). Sistem ini menghubungkan semua pemain – dari pemilik barang sampai operator logistik – dalam satu jaringan yang saling mengawasi. Sistem ini juga mengatur batas tarif angkutan ( freight rate ) yang adil dan transparan, guna mencegah praktik banting harga yang sering mendorong muatan berlebih demi menekan biaya.

Yang lebih canggih, semua aktivitas logistik dapat dilacak secara real-time , mulai dari titik muat hingga titik bongkar. Jika terjadi pelanggaran, seperti kelebihan muatan atau manipulasi tarif, sistem ini memungkinkan penindakan yang menyasar seluruh pihak yang terlibat. Tidak hanya sopir, tetapi juga pemilik barang dan penyedia jasa logistik. Sanksinya beragam, mulai dari administratif hingga pencabutan izin usaha. Pendekatan yang menyeluruh ini menjadikan sistem logistik Korea Selatan tak hanya efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Membangun sistem seperti ini tentu membutuhkan investasi dan waktu, namun manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar. Dengan sistem transparan yang berjalan otomatis, budaya taat aturan akan tumbuh alami. Bandingkan dengan sekadar razia atau patroli yang efeknya cuma sesaat, seperti obat penghilang rasa sakit yang tak menyembuhkan akar penyakit.

Saatnya pemerintah bertindak nyata, berani, konsisten dan transparan, bukan sekadar membuat aturan. Pemerintah tak seharusnya bersembunyi di balik dalih “pendekatan manusiawi” jika pada kenyataannya itu hanya menjadi alasan untuk menghindari tindakan tegas terhadap pelaku usaha besar. Keadilan bukan soal menyamakan perlakuan, melainkan soal menempatkan tanggung jawab sesuai posisi dan kekuasaan masing-masing. Jangan sampai beban kesalahan justru ditumpahkan kepada sopir di lapangan yang hanya menjalankan perintah, sementara mereka yang mengambil keputusan tetap bebas tanpa konsekuensi.

Truk-truk ODOL itu seperti bom waktu. Setiap hari mereka melintas, jalan-jalan kita makin rusak, angka kecelakaan meningkat, dan uang negara terus terkuras hanya untuk perbaikan. Semakin lama penindakan menyeluruh ditunda, semakin besar pula risiko yang harus ditanggung masyarakat. Setiap hari keterlambatan itu berlangsung, berarti kita diam-diam ikut membiarkan jatuhnya korban berikutnya di masa depan.

Jika akar masalah ODOL tidak segera dibenahi, maka aksi protes sopir truk jadi agenda tahunan yang terus berulang. Ketimpangan dalam penegakan hukum akan menjadi bara dalam sekam, siap meledak kapan saja. Sopir yang berada di lapangan akan terus menjadi tameng, menanggung beban aturan, sementara pemilik barang dan armada. Pihak yang sebenarnya memiliki kuasa untuk mencegah ODOL, tetap melenggang tanpa gangguan.

Karena itu, jika penanganan ODOL benar-benar ingin diselesaikan, maka fokus penegakan hukum harus dimulai dari mereka yang berada di puncak pengambilan keputusan. Mereka yang mengatur muatan, mengizinkan armada beroperasi, di situlah perubahan harus dimulai.(*)

TAGGED:Menhub Tetap Tertibkan Odolmenhub truk odolOver DimensionPolisi Tilang Odol
Share This Article
Email Copy Link Print

T R E N D I N G

Yang Belum Serahkan Uang Suap Dihukum, Yang Sudah Malah Masih Bebas
Juni 30, 2025
Rachmat Dihukum 2,5 Tahun Meski Belum Serahkan Uang Suap ke Mbak Ita
Juni 30, 2025
Baleg DPR RI; Pileg Dan Pilpres Juga Lebih Ideal Jika Dipisah
Juni 30, 2025
Jateng Jamin Tidak Ada PHK Bagi Honorer dan GTT Yang tidak Lolos CPNS
Juni 30, 2025
Jateng–Uni Eropa Tingkatkan Kerjasama Produksi Beras Rendah Karbon
Juni 30, 2025

Berita Terkait

Menteri Perhubungan (Menhub), Dudy Purwagandhi. (IG Kemenhub)
Terkini

Menhub Masa Bodoh, Tetap Tertibkan Angkutan ODOL meski Banyak Didemo

R. Izra
Mahkamah Konstitusi (MK) RI membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada Kamis 26 Juni 2025
Opini

Selamat Untuk Anggota DPRD se-Indonesia Hasil Pemilu 2024, Jabatan Diperpanjang 7,5 Tahun

baniabbasy
Ketua Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati bersalaman dengan para kuasa hukum setelah MK membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025
Opini

Alasan Mengapa Pemilu Dipisah Antara Nasional Dan Lokal

baniabbasy
Ketua DPR RI Puan Maharani bersama pimpinan dewan lainnya memberi keterangan pers seusai Sidang Paripurna DPR RI Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
OpiniSerba-serbi

Pulau-Pulau Kecil Indonesia Dijual Puluhan Miliyar di Situs Asing?

baniabbasy
  • Home
  • Kantor dan Redaksi
  • Kebijakan Privasi
  • Syarat Penggunaan (Term of Use)
narakita.id
Facebook Twitter Youtube Rss Medium

Narakita merupakan media kolaboratif dengan tagline “New Hope for Everyone” yang membuka ruang untuk semua ide, semua koneksi dan semua masa depan.

Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?