NARAKITA, KUPANG – Proses hukum terhadap mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, memasuki babak baru. Pengadilan Negeri Kupang dijadwalkan memulai sidang perdana atas kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak yang menyeret nama perwira menengah Polri itu pada Senin, 30 Juni 2025.
Informasi ini dikonfirmasi oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, Raka Putra Dharma, dalam keterangan tertulis yang disampaikan pada Rabu (25/6). Ia menyebutkan, penjadwalan sidang telah ditetapkan secara resmi oleh Panitera Pengadilan Negeri Kupang.
Dalam surat penetapan yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA, sidang untuk terdakwa AKBP Fajar akan dimulai pukul 11.00 Wita. Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kota Kupang telah menerima instruksi untuk menghadirkan terdakwa beserta seluruh alat bukti yang diperlukan.
Raka menjelaskan bahwa penetapan sidang tersebut tercantum dalam surat nomor 75/Pid.Sus/2025/PN Kpg tertanggal 23 Juni 2025. Penetapan ini menjadi dasar pelaksanaan sidang yang akan digelar di ruang utama Pengadilan Negeri Kupang.
Sebagai referensi terkait perkembangan perkara ini, artikel ini disusun pada Rabu (25/06/2025), dengan harapan dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai langkah hukum yang tengah ditempuh oleh aparat penegak hukum di Nusa Tenggara Timur.
Dalam perkembangan lainnya, terdakwa lain dalam perkara ini, yaitu seorang perempuan berinisial SHDR alias Stefani alias Fani, juga akan menjalani sidang pada hari yang sama. Namun waktu pelaksanaannya berbeda, yakni pukul 09.00 Wita.
Fani, yang disebut-sebut memiliki peran penting dalam kasus ini, akan disidang berdasarkan surat penetapan dengan nomor 76/Pid.Sus/2025/PN Kpg. Seperti halnya sidang Fajar, JPU juga diminta untuk menghadirkan terdakwa perempuan itu beserta barang bukti yang terkait.
Kasus ini menyeruak ke publik setelah nama AKBP Fajar dikaitkan dengan dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak yang masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun. Tindakan tersebut dilakukan dalam rentang waktu pertengahan 2024 hingga awal 2025.
Selain dugaan kekerasan seksual, AKBP Fajar juga diketahui positif mengonsumsi narkotika berdasarkan hasil tes urine yang dilakukan oleh Divisi Propam Mabes Polri. Hal ini menambah daftar panjang pelanggaran hukum yang dituduhkan kepadanya.
Fajar ditangkap pada 20 Februari 2025 dalam operasi gabungan yang dilakukan oleh Propam Mabes Polri dan Polda NTT. Penangkapan itu dilakukan setelah muncul laporan dari otoritas luar negeri yang menemukan video mencurigakan.
Video kekerasan seksual terhadap anak beredar di situs gelap (darkweb), dan pertama kali diungkap oleh Australian Federal Police (AFP). Laporan itu kemudian diteruskan kepada Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri dan akhirnya sampai ke Polda NTT.
Dari hasil penyelidikan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTT, diketahui bahwa aksi tidak terpuji tersebut dilakukan Fajar di sebuah hotel ternama di Kupang pada 11 Juni 2024, dengan korban berusia 6 tahun.
Dalam proses penyelidikan lebih lanjut, ditemukan bahwa kasus serupa kembali terjadi dalam kurun waktu tujuh bulan di dua hotel berbeda di Kupang. Ketiga anak korban diduga mengalami kekerasan dalam pola yang hampir sama.
Perempuan F berusia 20 tahun yang kini menjadi salah satu terdakwa diketahui membawa anak kecil ke hotel atas permintaan langsung dari Fajar. Ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap turut serta dalam praktik tersebut.
Fani juga disebut sebagai salah satu korban kekerasan seksual dari Fajar. Namun keterlibatannya dalam membawa anak ke lokasi membuatnya ikut dijerat hukum oleh penyidik Polda NTT.
Saat kejadian berlangsung, Fajar diduga merekam aksi cabulnya menggunakan telepon genggam. Video tersebut kemudian tersebar dan menjadi alat bukti yang sangat memberatkan dalam proses penyidikan.
Imbalan uang sebesar Rp3 juta disebut diberikan Fajar kepada Fani sebagai kompensasi atas jasanya membawa anak ke hotel. Uang tersebut juga menjadi bagian dari barang bukti yang kini sudah diamankan kejaksaan.
Komisi Kode Etik Polri telah menjatuhkan sanksi tegas berupa Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) terhadap AKBP Fajar. Proses etik ini berlangsung setelah kasus mencuat ke publik dan menjadi sorotan nasional.
Meski sempat mengajukan banding atas keputusan etik tersebut, Fajar akhirnya harus menerima kenyataan bahwa bandingnya ditolak. Status keanggotaannya sebagai anggota Polri pun dinyatakan berakhir.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga telah memberikan pendampingan terhadap para korban, khususnya anak berusia 6 tahun yang mengalami trauma berat. Pendampingan ini dilakukan sejak tahap awal penyidikan.
Publik kini menanti proses persidangan dengan penuh perhatian. Kasus ini dianggap sebagai ujian integritas bagi sistem peradilan, mengingat posisi pelaku sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat. (*)