NARAKITA — Rumput laut cokelat bisa menjadi pengganti panel surya untuk pembangkit listrik ramah lingkungan.
Sebagai energi baru terbarukan (EBT) rumput laut cokelat dinilai lebih ramah lingkungan serta tahan terhadap api dan panas tinggi.
Hal ini berdasarkan penelitian dari tim internasional yang dipimpin oleh Institut Ilmu Material Spanyol (ICMM-CSIC) bersama mitra dari Korea Selatan.
Tim tersebut berhasil menciptakan lembaran berbusa. Sekilas bentuknya mirip bahan pembungkus, tetapi sebenarnya memiliki tiga fungsi sekaligus: menjadi isolator panas, mengubah tekanan atau getaran menjadi listrik, dan tahan terhadap api langsung.
Bahan ini dibuat dari sodium alginate —zat dari rumput laut cokelat— yang dicampur dengan lembaran tipis titanium-karbida (MXene).
Campuran ini dibekukan dan dikeringkan hingga menjadi balok ringan seperti busa polistirena.
Berdasarkan sampel yang ada di laboratorium, bahan ini hanya memiliki kerapatan 0,02 gram per sentimeter kubik.
Meski sangat ringan, kemampuannya menghantarkan panas 15 persen lebih baik dari papan poliuretan biasa.
Saat diinjak, busa ini bisa menghasilkan tegangan hingga 380 volt.
Ketika dibakar api dengan suhu 870 derajat Celsius, bahan ini mampu memadamkan api sendiri dalam waktu kurang dari dua detik, sekaligus menyalakan lampu LED tanpa mengeluarkan asap beracun.
Alginat yang biasanya digunakan untuk mengentalkan es krim atau membalut luka, kini juga bisa berfungsi sebagai bahan tahan api alami.
Selain itu, strukturnya yang berpori dari pembekuan mampu membuat panas mengalir lebih lambat.
Sementara itu, lembaran MXene membentuk jalur konduktif di dalam bahan ini.
Ketika busa ditekuk atau ditekan, gesekan antara permukaan MXene dan alginat menghasilkan listrik lewat efek triboelektrik.
Berdasarkan uji laboratorium, busa ini mampu menyalakan 20 lampu LED.
MXene juga bisa menjadi sensor panas. Di atas suhu 200 derajat Celsius, resistansinya turun drastis.
Dengan menambahkan sirkuit sederhana, panel ini bisa otomatis menyalakan atau memutus aliran listrik saat suhu mendekati titik nyala api, tanpa komponen tambahan.
Jika bisa diproduksi secara massal, panel ini bisa menjadi dinding dalam yang cerdas: mengubah benturan seperti pintu dibanting menjadi energi untuk sensor, dan memberi peringatan kebakaran otomatis. Tanpa kabel tambahan.
Rumput laut memang tidak hidup setelah diproses.
Ia dihancurkan menjadi sodium alginat, lalu dicampur dengan kalsium untuk membentuk bahan padat yang bisa terurai alami.
Bahan ini tidak berfotosintesis atau membusuk seperti biomassa mentah.
Namun, jika dibakar, busa ini hanya menjadi abu yang tidak beracun dan menghasilkan jauh lebih sedikit zat berbahaya dibandingkan busa tahan api biasa yang mengandung bromin.
Keuntungan lingkungan lainnya, MXene berasal dari budidaya rumput laut, yang mama budidaya tersebut mampu menyerap karbon tanpa butuh pupuk atau lahan.
Memang, sampai saat ini proses pembuatan MXene masih boros energi. Tapi peneliti menyebut MXene bisa didaur ulang menjadi pigmen titanium dioksida, jadi siklus materialnya bisa lebih tertutup.
Papan poliuretan dijual sekitar 1 dollar AS per kilogram, tapi butuh tambahan bahan kimia berbromin agar tahan api dan bisa meleleh di suhu 350 derajat Celsius.
Aerogel berbasis silika memang lebih baik dalam isolasi, tapi harganya mahal hingga 50 Dolar AS per meter persegi dan mudah rusak saat ditekan.
Busa dari rumput laut–MXene ini diperkirakan bisa dijual 10 Dolar AS per meter persegi jika harga MXene turun.
Beratnya lebih ringan, isolasinya sebanding, dan bisa menghasilkan listrik sendiri.
Minat dari industri sudah pun kini mulai muncul. Perusahaan pembuat rumah modular di Eropa akan menguji bahan ini sebagai pelapis dinding pada 2026.
Sementara itu, perusahaan baterai di California ingin mencoba material ini sebagai pengisi di antara sel baterai lithium-ion, untuk menyamakan tekanan dan mencegah kebakaran.
Sepuluh tahun lalu, rumput laut hanya dikenal sebagai bahan sushi dan MXene hanya dikenal di jurnal ilmiah.
Kini, keduanya bisa menjadi bahan bangunan masa depan, bisa menghasilkan listrik, tahan api, menyerap karbon, dan memberi peringatan kebakaran bahkan sebelum atap rumah pengguna mulai panas. (*)