KEKAYAAN alam Papua kembali menghadapi ancaman serius. Di tengah lanskap laut yang menakjubkan, Raja Ampat kini harus bergulat dengan bayang-bayang tambang nikel. Bukan hanya masyarakat sipil, para artis Indonesia pun angkat suara lantang melalui tagar #SaveRajaAmpat.
Salah satunya adalah Angela Gilsha. Dalam unggahan Instagram-nya, ia mengingat kembali momen magis saat berenang di Pulau Kawe. Tapi suasana bahagia itu pupus ketika ia mengetahui bahwa tak jauh dari sana, kerusakan lingkungan sudah mulai tampak. “Air yang dulu bening sekarang mulai keruh. Tanah dilukai. Hati ikut perih,” tulis Angela.
Sikap tegas juga ditunjukkan oleh Nana Mirdad. Ia menyuarakan kekecewaannya terhadap pihak-pihak yang memberi izin eksploitasi di kawasan konservasi. “Raja Ampat bukan tempat yang boleh dijadikan ajang coba-coba. Kita harus menuntut perlindungan permanen,” tegasnya dalam unggahan Instagram yang disertai foto hamparan laut biru.
Darius Sinathrya tampil lebih singkat tapi keras. Dalam salah satu cuitannya, ia menuliskan, “Dikeruk sampai habis, yang tersisa cuma utang generasi depan.” Kritik ini menjadi representasi kekecewaan publik terhadap perusakan lingkungan demi kepentingan ekonomi sesaat.
Aktor Richard Kyle pun tidak tinggal diam. Ia menggambarkan Raja Ampat sebagai “permadani hidup” yang memuat sejarah, budaya, dan biodiversitas dunia. Dalam kalimat tajamnya, Richard menyebut bahwa keuntungan dari tambang nikel bisa jadi hanya sementara, tapi kerusakannya bersifat permanen.
Dari dunia musik, Fiersa Besari menyindir ambisi energi bersih yang justru menimbulkan kerusakan lingkungan. “Menuju energi bersih dengan menghancurkan surga terakhir di Indonesia,” tulisnya di platform X. Sindiran yang menggugah logika dan perasaan publik sekaligus.
Kunto Aji, penyanyi yang dikenal puitis, menulis pernyataan singkat nan tajam. “Stop sirkus-sirkus kapitalis,” tulisnya, menyertakan tagar #SaveRajaAmpat dalam unggahan di Instagram Story. Suaranya mewakili keresahan generasi muda terhadap kapitalisasi sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan.
Kritik pedas datang pula dari Ernest Prakasa. Komika ini menyindir pernyataan pejabat pemerintah yang menyebut tambang nikel tidak berada di kawasan wisata utama. “Kalaupun ternyata mengancam pariwisata, pasti ulah asing kan? Siap,” tulisnya di akun X.
Aming, dengan gaya khasnya yang satir sekaligus reflektif, menyuarakan kekecewaan atas rusaknya alam yang seharusnya dijaga oleh manusia. “Di negara yang katanya sangat beragama, justru banyak manusia dengan daya rusak luar biasa,” tulisnya dalam caption Instagram yang penuh kritik sosial.
Sementara itu, Denny Sumargo menyuarakan permintaan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto melalui unggahan videonya. Ia menyatakan, “Jiwa saya pernah tinggal di tanah Papua. Tolong jangan jadikan tanah ini korban eksploitasi.”
Tak ketinggalan, Nadine Chandrawinata, ikon lingkungan hidup di kalangan selebriti, menyampaikan narasi penuh perasaan. “Keindahan Papua tidak mudah didapatkan. Tapi kehancurannya bisa terjadi dalam sekejap jika kita diam,” tulisnya dengan foto latar belakang perairan Raja Ampat yang memesona.
Suara mereka bersatu dalam satu seruan: selamatkan Raja Ampat. Aksi ini menuai dukungan besar dari netizen yang turut menyuarakan keresahan serupa di kolom komentar dan media sosial masing-masing.
Fenomena ini bukan semata tren selebritas, tetapi bentuk nyata aktivisme digital yang lahir dari kepedulian. Kehadiran para artis memperkuat tekanan publik kepada pengambil kebijakan agar tidak mengorbankan alam demi keuntungan sesaat.
Tagar #SaveRajaAmpat pun menjelma menjadi gerakan kolektif. Dari pengguna media sosial hingga komunitas pecinta alam, semua bersatu menolak aktivitas tambang nikel di kawasan konservasi yang diakui dunia.
Kerusakan alam tidak pernah terjadi tiba-tiba. Ia berproses diam-diam, dan kadang tak terlihat sampai semuanya sudah terlambat. Para artis mencoba menghentikan laju itu sebelum bencana benar-benar datang.
Di sisi lain, publik kini menanti langkah konkret dari pemerintah. Apakah suara-suara ini akan mengubah arah kebijakan atau hanya menjadi gema yang cepat dilupakan?
Para tokoh publik yang bersuara membuktikan bahwa selebritas punya peran strategis, bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga advokasi sosial dan lingkungan.
Dengan keindahan dan kekayaan biodiversitasnya, Raja Ampat pantas dilindungi, bukan dieksploitasi. Alam Papua bukan sekadar latar foto, tapi rumah bagi kehidupan yang tak tergantikan.
Kini, bola panas ada di tangan pengambil kebijakan. Apakah suara rakyat dan artis akan cukup kuat untuk menyelamatkan surga terakhir di timur Indonesia?
Satu hal yang pasti, dari pantai Kawe hingga layar ponsel kita, Raja Ampat sedang berteriak. Dan kita semua harus mendengarnya. (*)