WARGA Dusun Kuwondogiri, Desa Blambangan, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, tengah bersiap menyambut tahun baru Hijriah dengan cara yang tak biasa. Para pemuda di dusun tersebut berinisiatif membangun replika wayang kulit berukuran raksasa sebagai bentuk pelestarian budaya sekaligus perayaan yang meriah.
Meski keterbatasan dana menjadi tantangan utama, semangat gotong royong membuat impian itu bukan mustahil. Mereka menciptakan wayang raksasa dengan tinggi mencapai 6 meter dan lebar 4,9 meter. Wayang ini nantinya akan dipamerkan di Kampung Kelapa Sawit, kawasan wisata lokal yang mereka kelola secara mandiri.
Kampung Kelapa Sawit sendiri sudah dikenal sebagai tempat rekreasi keluarga yang menawarkan berbagai wahana seperti playground hingga jelajah alam menggunakan ATV. Keberadaan replika wayang ini diharapkan dapat menambah daya tarik serta menjadi sarana edukatif bagi anak-anak yang berkunjung.
“Kami ingin anak-anak mengenal lebih dekat kesenian wayang kulit yang kini mulai dilupakan. Apalagi, banyak dari generasi muda yang bahkan belum tahu tokoh-tokoh pewayangan,” ujar Kuat Herry Isnanto, penggerak Kampung D’Kuwondogiri yang juga menjadi narasumber utama dalam kegiatan ini.
Pada kesempatan kali ini, replika yang dibuat adalah tokoh kembar dari Pandawa Lima: Nakula dan Sadewa. Pemilihan kedua tokoh ini bukan tanpa alasan. Keduanya melambangkan keseimbangan, sebuah pesan penting yang sejalan dengan tema besar kegiatan yang mereka gagas, yaitu “Kuwondogiri Duwe Gawe: Nature and Culture Festival 2025.”
Festival tersebut diinisiasi sebagai upaya menyelaraskan kembali hubungan manusia dengan alam dan budaya. Replika wayang ini diharapkan bisa menjadi simbol dan inspirasi bahwa nilai-nilai luhur dari cerita pewayangan masih sangat relevan hingga kini.
Nakula dikenal sebagai sosok yang jujur, setia, taat pada orang tua, dan pandai membalas budi. Ia juga mahir dalam astrologi, perawatan kuda, serta keahlian bermain pedang. Citra dirinya sebagai pria tampan dan berkarakter menjadikan Nakula figur yang patut diteladani.
Sementara itu, Sadewa tidak kalah hebat. Ia terkenal penuh kasih sayang, sangat menghormati orang tua dan saudara-saudaranya, serta ahli strategi perang. Keahliannya dalam menunggang kuda dan menggunakan panah maupun lembing juga membuatnya dikagumi banyak orang.
Kuat Herry menyebutkan bahwa karakter-karakter positif seperti inilah yang ingin mereka tanamkan pada generasi muda melalui pendekatan budaya. “Filosofi yang terkandung dalam cerita pewayangan sangat dalam. Bisa menjadi bekal moral untuk anak-anak di tengah zaman yang serba digital ini,” tambahnya.
Wayang raksasa ini menjadi bagian awal dari rangkaian kegiatan yang akan dilanjutkan dengan pembuatan tiga tokoh Pandawa lainnya: Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Semua akan ditampilkan dalam puncak acara festival budaya dan alam yang digelar tahun depan.
Selain menjadi ikon kampung wisata, replika tersebut juga akan dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Anak-anak akan dikenalkan dengan tokoh wayang melalui cerita, pertunjukan, hingga lomba-lomba edukatif yang dirancang dalam format kekinian.
Antusiasme warga sekitar cukup tinggi. Banyak yang terlibat langsung dalam proses pembuatan replika ini, dari perencanaan, pencarian bahan, hingga pengerjaan manual yang memakan waktu cukup lama.
“Kami tidak hanya ingin menyuguhkan pertunjukan budaya, tapi juga ingin menciptakan momentum yang menyatukan warga dalam karya bersama,” jelas Kuat. “Dengan cara ini, masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tapi juga pelaku budaya itu sendiri.”
Pemerintah desa dan beberapa komunitas kreatif lokal turut memberikan dukungan. Meski masih berskala kecil, kegiatan ini membuka peluang besar untuk pengembangan potensi wisata dan pelestarian budaya di daerah tersebut.
Apalagi, Dusun Kuwondogiri berada di wilayah perbukitan yang menyimpan banyak pesona alam. Dengan mengusung konsep “Nature and Culture,” pemuda setempat optimis bisa mengangkat citra dusun mereka ke tingkat yang lebih luas.
Kampung Kelapa Sawit kini bersiap menjadi tuan rumah dari agenda tahunan yang penuh warna dan makna. Selain atraksi budaya, nantinya pengunjung juga bisa menikmati trekking alam, bazar UMKM, hingga pertunjukan seni khas Banjarnegara.
“Kami mengundang masyarakat luas untuk datang langsung dan menyaksikan sendiri kemegahan replika wayang serta menikmati suasana kampung kami,” ujar Kuat menutup wawancara.
Wayang kulit bukan sekadar hiburan semata, tetapi cermin nilai-nilai moral dan filosofi kehidupan. Di tangan para pemuda Kuwondogiri, warisan budaya ini kembali dihidupkan dalam bentuk yang lebih megah dan menginspirasi. (*)